Saya takjub melihat tetua Wana, seorang wanita berusia sekitar delapan puluh tahun, dengan cekatan menggulung kulit pohon menjadi gulungan tipis. Saya duduk di tikar hasil anyaman tangan sambil mendengarkan suaminya, yang bercerita dengan antusias mengenai kehidupan di hutan.
“Kami tinggal di hutan. Dahulu kami hidup nomaden, tapi sekarang kami menetap di satu daerah selama tiga sampai empat tahun. Kami merambah sepetak tanah dan menanam tanaman pangan. Ketika tanahnya sudah tidak subur lagi, kami mengemasi rumah papan kami dan pindah. Kami sangat menghormati bumi. Kami hanya mengambil apa yang kami butuhkan,” jelasnya.
Orang-orang Wana adalah pelestari alam sejati yang menerapkan metode bertani ramah lingkungan sehingga memungkinkan mereka hidup dalam keseimbangan dengan alam selama ribuan tahun. Yonatan, penjaga taman nasional yang memandu kami ke Cagar Alam Morowali, menjelaskan bagaimana praktik pengelolaan hutan yang disebut ladang dan merupakan sistem pertanian berpindah ini menghidupi orang-orang Wana dengan baik dan menjaga kelestarian hutan mereka selama berabad-abad.
“Ini, lihatlah,” kata kepala suku menyodorkan sebuah sumpitan. “Kami adalah pemburu hebat.” Dia menunjukkan bermacam anak panah miliknya, sebagian diisi dengan racun, sebagian lainnya tidak.
Hanya ada satu cara untuk bertemu dengan Suku Wana—Anda harus datang ke wilayah mereka. Kami datang dengan perahu sehari sebelumnya, dan Yonatan ikut bersama kami menaiki sekunar tradisional bergaya pinisi, Ombak Putih, dan memandu kami ke teluk di mana kami berlabuh selama satu malam. Kami berangkat pada awal pagi dengan perahu karet Zodiac dan memasuki taman nasional melalui Sungai Rano. Kami harus berjalan di dalam hutan sejauh enam kilometer. Sebagian besar awak Ombak Putih ikut bersama kami. Tak satu pun dari kami, termasuk kapten kapal Feri (yang berasal dari Gorontalo di Sulawesi Utara), pernah melewati Sungai
Wana atau bertemu dengan suku penghuni hutan, jadi bisa dibilang kami begitu bersemangat dan penasaran saat kami memasuki teluk sungai dan berjalan menuju hutan. Aura Indiana Jones terasa pagi itu, dan kami siap untuk bertualang.
Setelah turun dari Zodiac, kami memasuki hutan. Sang penjaga taman nasional berjalan di depan untuk memotong rotan berduri yang menutupi jalan. Hari itu lembap dan panas, dan kami beruntung terlindung oleh hutan hujan primer selama satu jam pertama perjalanan. Tepat sebelum makan siang, kami mengarungi arus dingin yang menyegarkan. Kami memotong jalan melalui sabana karena jalur yang kami lintasi melewati rawa-rawa, dan entah bagaimana saya berhasil berjalan melewati ular pohon hijau besar yang tergantung pada dahan rendah di atas kepala saya. Mata tajam fotografer kami melihat itu dan berhasil mendapatkan foto yang bagus, dan itu membuat saya bertanya-tanya berapa banyak makhluk hidup besar dan kecil yang tersembunyi di hutan tua ini. Saya langsung berjalan mendahului kru lain dan menghampiri Yonatan, supaya kalau kejadian mengejutkan seperti tadi terulang lagi, setidaknya ada dia di samping saya.
Setelah berjalan kaki lima kilometer, kami menemukan kawasan perambahan hutan yang tenang dan menggelar bekal makan siang sambil beristirahat. Tiga puluh menit kemudian, entah bagaimana kami tiba di sebuah pagar memanjang dan rapi. Setelah melompat pagar, kami menemui beberapa ladang jagung, disusul sejumlah sawah kering. Dan selanjutnya, kami menangkap pemandangan pertama rumah kayu Suku Wana.
Desa itu terdiri atas sejumlah rumah papan bertingkat dua yang sangat fungsional. Pemukiman yang begitu rapi dan bersih, sehingga kami pun merasa dan tampak sangat berantakan dan kuyup setelah menempuh perjalanan di hutan. Kami disambut dengan senyuman hangat dari sekelompok tetua suku yang berkumpul di rumah utama. Mereka tampaknya sama terpesonanya seperti halnyakami terpesona melihat mereka.
Kami diundang masuk ke rumah mereka, yang terdiri atas beberapa kamar tidur dan perapian tradisional. Persediaan air disimpan di dalam tabung bambu panjang di sudut rumah. Kami bisa mencium aroma ikan bakar. “Kami nelayan hebat,” kata salah satu tetua, “Cuma satu jam dari sini ada sebuah danau tempat kami menangkap kakap dan belut.”
Bermacam-macam model perangkap ikan, jaring, dan tombak kayu ditumpuk rapi di ruang penyimpanan berukuran kecil. Perkakas dan peralatan berburu mereka memang belum sempurna, tapi sangat fungsional. Salah satu sesepuh keluar dari ruang belakang dengan gong keramat dan menunjukkannya kepada kami. Setelah kami semua melihat dan mengaguminya, gong itu dikembalikan ke tempatnya. Letaknya di sebelah gergaji listrik. Gergaji listrik dan sebuah parabola (yang diposisikan di samping rumah utama) adalah satu-satunya tanda-tanda kehidupan modern di sini.
“Kami mengambil obat-obatan dari hutan. Setiap desa Wana memiliki seorang dukun, yang paham cara-cara pengobatan kuno. Pengetahuan ini sudah sangat lama, dan kami mengikuti cara-cara perdukunan dan praktik ibadah leluhur,” seorang penatua mengatakan kepada kami, “Dukun kami bijak dan serbatahu. Kami selalu hidup dengan kepercayaan ini.” Ia lalu menceritakan bagaimana pemerintah membebaskan mereka untuk mempraktikkan cara-cara kuno itu.
Desa ini terdiri atas 19 keluarga. Kami merasasangat terhormat dapat duduk bersama para tetua dan bertukar cerita dengan mereka.
Ketika tiba waktunya bagi kami untuk pergi, tak ada yang mau beranjak. Kunjungan kami ke Wana terasa seakan tak lekang oleh waktu karena kehidupan yang mereka jalani sebagian besar tidak berubah sejak dahulu kala. Kemewahan kapal kami yang berlabuh di Laut Maluku tampak sangat jauh, dan dengan sedikit keraguan serta berulang kali mengucapkan selamat tinggal, akhirnya kami pun pulang. Kami berjalan kembali ke perahu dalam keheningan di sepanjang jalan, merenungi dan merefleksi, merasa kembali dari dunia yang sangat berbeda.
Dalam perjalanan berlayar selama 12 hari dengan kapal Ombak Putih, kami bertemu dosen dari Museum Maritim Australia yang menghibur kami setiap malam dengan kisah-kisah menarik tentang pembuatan kapal dan cerita dari suku-suku laut di Maluku. Pada malam istimewa ini, kami memilih untuk menonton DVD Ring of Fire yang terkenal dan bersejarah karya Lawrence dan Lorne Blair. Entah bagaimana pengalaman kami bertemu suku hutan yang unik seakan sama seperti petualangan kakak-beradik Blair. Kami semua sepakat bahwa hari ini menjadi puncak perjalanan berlayar kami selama 12 hari di Kepulauan Rempah-Rempah. Saya tertidur malam itu setelah merenungi kehidupan masyarakat tradisional Morowali dan bagaimana mereka bisa mempertahankan kebiasaan mereka dan cara-cara adat menjelajahi hutan Sulawesi.
Pada intinya, menurut saya Suku Wana mengerti kapan harus berkemas dan melanjutkan hidup, dan melakukannya secara bertanggung jawab. Mereka adalah orang-orang yang memahami bahwa hidup adalah sebuah perjalanan. Dan dalam hal itu, saya pikir bagaimanapun juga kita semua tidak berbeda satu sama lain.(Stephanie Brookes)
Sumber : Inflight Magazine e-papers “Colours Garuda” Halaman 114-116 Edisi April 2016