Jakarta, 17/09/19. Secara factual, masih ada 3,2 juta warga yang masih belum bisa menuliskan namanya sendiri. Siapa dan dimana warga negara yang masih buta aksara penting untuk diidentifikasi. Kalau perlu penguatan data yang 3,2 juta dilacak by name dan by address. Kalau persoalan ini jelas, itu satu langkah maju menuju solusi, ungkap Harris Iskandar (Dirjen PAUD dan Dikmas Kemdikbud). Selain literasi dasar untuk bertahan pada abad 21 tidak cukup keterampilan membaca, menulis dan berhitung (calistung) penting juga dikembangkan literasi science, digital, keuangan, budaya, dan kewarganegaraan ungkapnya pada FGD pendidikan keaksaraan dan kesetaraan bagi masyarakat adat 17/09/19 di Jakarta.
Senada dengan itu Rifai (Yayasan Citra Mandiri Mentawai) mengungkapkan bahwa model pengembangan pendidikan untuk masyarakat adat yang dikerjkan selama ini tidak lagi semata-mata calistung. Target pembelajaran peserta warga belajarnya juga berkembang. Kami mengaitkan pendidikan dengan wilayah adat, pangan lokal dan pengobatan.
Agar persoalan keaksaraan di masyarakat adat ini tuntas penting didukung kebijakan khususnya tenaga pendidik dan kependidikan yang berasal dari masyarakat local – kualitas dan komitmen pendidik lebih penting, dan kualitas pendidik bukan berarti kualifikasi tingkat pendidikan yang tinggi. Menurut Zaiful (peserta dari YMP Sulteng) bahwa inti pendidikan di Skola Lipu pada masyarakat adat Taa Wana, bagaimana peserta didik bisa membaca kekayaan alam yang dimiliki untuk dikembangkan secara berkelanjutan dalam kehidupannya.
Menurut Harris, untuk mempercepat proses tersebut sangat dibutuhkan penggiat pendidikan yang bekerja karena panggilan. Kami sudah melakukan evaluasi dengan enduring para penggiat, daripada birokrasi yang hanya memikirkan honor. Jadi Pendidikan pada masyarakat adat bukan hanya sekedar baca tulis, karena setelah baca tulis akan lebih banyak membuka perubahan yang lain. Bahkan bisa mengubah akhlak anak didik. Dari baca tulis bisa menghasilkan perubahan lain yang berdampak besar, ungkap Doktor lulusan Syracuse University – New York ini.
Harris yang juga mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Washington DC, Amerika Serikat (2004) ini juga mengakui bahwa persoalan yang paling pelik adalah bagaimana menjembatani pendidikan pada masyarakat adat dengan administrasi pemerintah. Tentu saja ini persoalan sistem yang nantinya bisa menjawab tantangan lapangan, pendidikan pada masyarakat adat banyak sekali variasi disisi lain sistem akan tidak ramah dengan variasi karena sebuah sistem tentu ada unsur penyeragaman. Namun sebagai langkah awal, menurutnya apa yang sudah dilakukan oleh LSM bersama masyarakat adat, jalan saja – sambil memikirkan sistem yang bisa menampung kesetaraan dalam keberagaman. zf