EkspresNews.com- Kamis, 2 Oktober 2014, Perkumpulan HuMa Indonesia, JKMA Aceh, Perkumpulan QBar, KKI Warsi, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), RMI Bogor, Akar Foundation, LBBT Pontianak, Perkumpulan Wallacea, AMAN Sulsel, Perkumpulan Bantaya, Yayasan Merah Putih (YMP) Palu, PADI dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Balitbanghut) Kementerian Kehutanan, mengadakan Dialog Nasional Hutan Adat bertemakan “Penetapan Hutan Adat Demi Terwujudnya Kesejahteraan Masyarakat”
Dialog ini dihadiri 156 orang, yang terdiri beberapa kepala daerah seperti Gubernur Bengkulu, Wali Nanggroe Aceh, SKPD-SKPD, Dinas Kehutanan Propinsi, BPKH, UPT Kehutanan, tim peneliti, perwakilan masyarakat adat dari beberapa daerah, seperti Kabupaten Aceh Barat dan Pidie di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten Merangin di Jambi, Kabupaten Lebong di Bengkulu, Kabupaten Tanah Datar dan Pasaman di Sumatera Barat, Kabupaten Lebak Banten, Kabupaten Sekadau di Kalimantan Barat, Kabupaten Paser di Kalimantan Timur, Kabupaten Bulukumba dan Luwu Utara di Sulawesi Selatan, Kabupaten Sigi dan Morowali di Sulawesi Tengah.
“Percepatan penetapan hutan adat ini menjadi bukti ditunaikannya hutang konstitusi oleh Negara, karena hak masyarakat adat adalah hak konstitusional yang telah lebih dari 47 tahun telah diingkari oleh Negara. Pengingakaran terhadap hak masyarakat adat merupakan kejahatan terberat dalam konteks bernegara. Percepatan penetapan hutan adat menjadi penting sebagai koreksi atas kesalahan tata kelola hutan yang telah melahirkan konflik, kerusakan lingkungan dan bencana ekologis yang terjadi selama ini” papar Chalid Muhammad, Ketua Badan Pengurus Perkumpulan HuMa Indonesia.
“Putusan MK 35 adalah satu dari beberapa putusan MK terkait dengan UU Nomor 41 tahun 2014 tentang Kehutanan. Putusan ini telah membedakan hutan adat dan hutan negara. Seharusnya, jika ada modal untuk penetapan hutan adat, bisa segera dilaksanakan, tentu saja dengan melibatkan dialog multipihak,” papar Prof. Dr. Ahmad Sodiki, SH., mantan Hakim Konstitusi.
Hadir sebagai salah satu keynote speaker Bupati Kab. Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, Ir. H. Shadiq Pasadique, SH. MM. Shadiq Pasadique. “Kabupaten Tanah Datar telah mengimplementasikan adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat melalui Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar nomor 4 tahun 2008 tentang Nagari, yang mendefenisikan bahwa nagari adalah kesatuan masyarakatan adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah dan atau berdasarkan asal usul dan adat minangkabau yang diakui dan dihormati . Dalam perda ini juga dinyatakan bahwa wilayah nagari, meliputi wilayah hukum adat dengan batas-batas tertentu yang sudah berlaku secara turun temurun, diakui sepanjang adat dan atau berdasarkan kesepakatan,” terang Shadiq.
“Pemerintah Kab. Tanah Datar siap untuk segera mengimplementasikan Hutan Adat Malalo yang selama ini telah menjadi tumpuan hidup masyarakat,” tambah Shadiq.
“Semua syarat dan tahapan pengakuan terhadap Hutan Adat Malalo telah kami jalani, berdasarkan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Mulai dari pemetaan partisipatif wilayah adat, dialog dan diskusi dengan Pemerintah Kab. Tanah Datar. Disamping itu hukum adat Malalo Tigo Jurai selama ini telah efektif dalam menjaga dan melestarikan hutan, serta masyarkat adat Malalo telah memiliki tata ruang hutan adat, yakni hutan paramuan tempat peladangan, hutan cadangan sebagai cadangan jika sewaktu-waktu hutan paramuan telah diolah, serta hutan larangan. Namun, untuk hutan cadangan masih belum tersentuh sampai sekarang. Kami berharap, melalui dialog nasional ini tidak ada keraguan lagi bagi Pemerintah Daerah Kab. Tanah Datar untuk segera mengimplemntasikan Hutan Adat Malalo,” ujar Yontameri, Perwakilan Masyarakat Adat Malalo Tigo Jurai.(Vai)
Sumber : ekspresnews.com
[wptab name=’File PDF Ekspresnews’][/wptab] [end_wptabset]