Palu, Metrosulawesi- Presiden Joko Widodo telah menyerahkan surat keputusan (SK) penetapan hutan adat Wana Posangke Kabupaten Morowali Utara (Morut), akhir 2016.
Tugas selanjutnya adalah bagaimana pemerintah memenuhi hak-hak dasar Masyarakat Hukum Adat (MHA) Wana Posangke yang telah mendapatkan penetapan hutan adatnya seluas 6.212 hektar.
Manager Informasi dan Kampanye Yayasan Merah Putih (YMP) Kiki Rizki mengatakan, meskipun sudah diberikan pengakuan, tapi sampai saat ini hak-hak dasar seperti sarana pendidikan dan kesehatan belum terpenuhi.
Bahkan, kata Kiki, masyarakat Wana Posangke yang berjumlah 113 keluarga (454 jiwa) ini belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP).
“Sarana umum belum ada. Kalau mau berobat saja, orang Wana Posangke harus berobat ke kampung terdekat dari wilayah adat orang Wana Posangke,” kata Kiki kepada Metrosulawesi, Selasa 7 Maret 2017.
Karena itu, kata Kiki, Yayasan Merah Putih yang selama ini mendampingi MHA Wana Posangke untuk mendapatkan pengakuan hutan adat, terus mendorong agar Pemkab Morowali Utara, Pemprov Sulteng dan pemerintah pusat agar tetap hadir melayani warga negara.
“Setelah penetapan hutan adat Wana Posangke, maka diharapkan pemerintah mendukung orang Wana Posangke dalam mengeloa hutan adatnya,” ujar Kiki.
Rencananya akhir Maret ini, YMP akan menggelar loka karya untuk mengkampanyekan soal hak-hak MHA Wana Posangke setelah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan adat Wana Posangke pada akhir 2016 lalu.
Sebelumnya, digelar Konferensi Nasional III, di Media Center Fakultas Hukum Universitas Tadulako Kota Palu, l-2Maret2017.Konferensi yang digelar Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia mengangkat tema “Hak Asasi Manusia dan Keadilan Eko Sosial”.
Konferensi ini digelar untuk mengkampanyekan bahwa pengakuan atas wilayah hutan adat, tidak secara serta-merta melepaskan tanggungjawab negara terhadap MHA.
Negara tetap wajib memberikan perhatian berupa pemenuhan terhadap hak-hak MHA, misalnya hak atas kekayaan intelektual berupa pengetahuan tradisional serta hak atas pemberdayaan ekonomi dengan melakukan pengembangan pemanfaatan hutan adat.
Direktur Yayasan Merah Putih Amran Tambaru pada konferensi itu mengungkapkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam rangka memenuhi hak-hak dasar masyarakat Wana Posangke.
Menurutnya, penetepan hutan adat Wana Posangke memiliki arti penting dari aspek hukum, terutama untuk menghentikan kriminalisasi.
Koordinator Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia Herlambang P. Wiratraman yang menjadi pembicara pada konferensi ini mengingatkan bahwa negara harus melindungi hak azasi manusia sebagai hak konstitusional, yang tidak boleh sedikitpun dicederai atau dilanggar.
“Kehadiran Negara adalah sebuah keharusan dan berani menunjukkan komitmen politik hukum untuk melawan dan menghentikan ancaman, kekerasan, terhadap mereka yang memperjuangkan keadilan, sekaligus berani dan tidak ragu mewujudkan keadilan ekososial,” kata Herlambang yang juga Ketua Pusat Studi Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. (zal)
sumber : Koran Metrosulawesi Edisi 8 Maret 2017