(Palu, 31/8/2015),Usulan kebijakan satu peta yang digagas oleh organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah seperti Yayasan Merah Putih (YMP), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Sulteng, serta Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Sulteng, telah diterima oleh Pemprov Sulawesi Tengah. Usulan tersebut diserahkan secara resmi oleh YMP dan BRWA Sulteng pada tanggal 27 Agustus 2015 di Kantor Gubernur. Mewakili Gubernur Sulawesi Tengah adalah Biro Administrasi Pembangunan dan Sumber Daya Alam sebagai pengelola geoportal Sulawesi Tengah. Diterimanya usulan kebijakan tersebut menandai komitmen Pemprov Sulawesi Tengah untuk terus meningkatkan kualitas tata kelola hutan dan lahan. Seiring dengan status Sulawesi Tengah sebagai wilayah provinsi terbaik di Indonesia dalam kategori tata kelola hutan dan lahan pada tahun 2014. Sesuai dengan hasil riset UNDP dan BAPPENAS di 11 wilayah provinsi pada tahun 2014 silam.
Sebagai salah satu bentuk kepedulian dan dukungan organisasi masyarakat sipil terhadap peningkatan kualitas tata kelola hutan dan lahan di daerah, maka sejak tahun 2013 serangkaian tahapan telah dilakukan. Seperti melakukan studi tata guna hutan dan lahan masyarakat adat dan komunitas lokal di sejumlah kabupaten, eksplorasi peta mental (mental map), pertemuan komunitas, studi potensi flora dan fauna wilayah masyarakat adat dan komunitas lokal, serta pemetaan partisipatif wilayah administrasi desa/wilayah kelola masyarakat adat. Rangkuman dari bacaan situasi lokal dipadukan dengan kondisi dinamis di level nasional, kemudian dirumuskan menjadi satu konsep usulan kebijakan satu peta (one map policy) di level provinsi.

Fokus utama dari usulan kebijakan satu peta ini adalah integrasi peta-peta tematik termasuk peta klaim wilayah adat ke dalam informasi geospasial dasar (IGD), yang selanjutnya akan dioleh di dalam sistem geoportal terpadu di level provinsi. BRWA Sulteng mencatat bahwa hingga kini luas klaim wilayah adat yang telah dipetakan mencapai 500.000 ha. Sudah termasuk wilayah adat Wana Posangke di Kabupaten Morowali Utara, yang selama ini dipetakan secara partisipatif oleh komunitas Wana Posangke dengan YMP.
Joisman Tanduru dari BRWA Sulteng dan Kiki Rizki Amelia dari YMP berharap kiranya usulan kebijakan tersebut didukung oleh pemangku kepentingan lainnya. Karena urgensi kebijakan satu peta tidak hanya kepentingan masyarakat adat semata, tapi juga menyangkut kepentingan perbaikan tata kelola sumber daya alam pada umumnya. Selain itu, kebijakan satu peta di level provinsi diharapkan sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik agraria. Seperti amanah Undang-Undang No.4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, yang memandatkan perlunya satu peta, yaitu satu rujukan, satu database, satu standarisasi, satu geoportal.
Badan Informasi Geospasial (BIG) sendiri pada bulan Desember 2014 telah meluncurkan satu peta tematik nasional sebagai kebijakan satu peta IGT. Diantaranya Peta Penutupan Lahan Nasional, Peta Mangrove Nasional, Peta Habitat Lamun Nasional dan Peta Karakteristik Laut Nasional. Bahkan, belum lama ini, BIG juga sudah meluncurkan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) terbaru dengan skala 1:250.000. Peta RBI terbaru ini bersama dengan peta tematik nasional lainnya diharapkan menjadi informasi geospasial tematik (IGT) standar. Sehingga menjadi rujukan bersama pemangku kepentingan.
Aktivis pemantauan REDD seperti Azmi Sirajuddin dan Ardin Tahir pun berharap sama. Mereka menaruh harapan tinggi andai kebijakan satu peta dapat memandu semua sektor penggun lahan. “Kunci pengurangan emisi sektor AFOLU dimulai dari perbaikan tata kelola, instrumennya adalah kebijakan satu peta di level provinsi”, ujar kedua orang ini. *[Tim]