Hancurnya hutan Indonesia dan sumberdayanya akibat buruknya tata kelola. Oleh sebab itu, dibutuhkan satu sistem tata kelola yang baik. Tata kelola yang baik kunci utama agar hutan tetap berkelanjutan. Unsur tata kelola hutan yang baik meliputi kerangka hukum dan kebijakan, kapasitas para aktor, serta kinerja yang dihasilkan. Prinsip umum semacam keterbukaan, partisipasi dan akuntabel, dapat diukur di dalam satu parameter yang terukur dan objektif. Misalnya, proses – poses yang menyertai pemberian izin, pelepasan kawasan maupun pinjam pakai kawasan.
Demikianlah pandangan para peneliti tata kelola hutan dalam pertemuan nasional yang diadakan oleh United Nations Development Programme, pada tanggal 7 – 8 Mei 2014, di Sari Pan Pasific Jakarta. Riset tata kelola hutan kali ini adalah lanjutan dari riset tahun 2012 silam. Jika sebelumnya riset dilakukan di 11 wilayah provinsi, untuk tahun ini ditambah menjadi 12 provinsi. Dengan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sebagai tambahan.
Berdasarkan hasil riset tata kelola tahun 2012, rata-rata indeks tata kelola hutan di 11 provinsi tidak begitu baik. Nilai indeks setiap provinsi dari seluruh indikator yang diteliti (lebih 100 indikator) tidak ada yang mencapai 7. Jika diratakan, masing-masing nilai provinsi bervariasi antara 4,5 hingga 6,8. Di level kabupaten, di mana ada 2 kabupaten di setiap provinsi, nilai rata-rata antara 4,7 sampai 6,5. Ini menunjukkan bahwa indeks tata kelola hutan dan lahan di level kabupaten dan provinsi belum baik, meskipun tidak terlalu jelek hasilnya.
Untuk Sulawesi Tengah, pada tahun 2012 yang telah diriset ialah Kabupaten Sigi dan Poso., selain level provinsi sendiri. Hasil riset menunjukkan jika untuk level provinsi, Sulawesi Tengah memperoleh indeks di bawah 6. Begitu pula dengan indeks Kabupaten Sigi dan Poso yang juga berada di bawah nilai 6. Kesimpulannya, nilai indeks tata kelola hutan dan lahan di Sulawesi Tengah di level nasional berada di kelas bawah. Belum beranjak dari persepsi tata kelola yang buruk. Karena itu, menurut tim panel ahli, riset tata kelola hutan atau yang dikenal dengan Participatory Governance Assesment (PGA), akan menghadirkan bukti berbasis fakta di lapangan. Sehingga ia akan menjadi alat advokasi berbasis fakta (evidence based advocacy).Harapannya, hasil riset ini juga nantinya akan menjadi bahan bagi pengambil kebijakan. Seperti Kementerian Kehutanan, BP REDD+ Indonesia, Bappenas, KPK dan UKP4 di level nasional. Juga untuk keperluan rujukan bagi masing-masing Pemerintah Provinsi dan Kabupaten bersangkutan.