(Palu, 7-01-16), Apa tujuan kegiatan ini? Pertanyaan ini diungkap Amran Tambaru (Direktur Yayasan Merah Putih) mengawali pembukaan acara Rencana Kerja Tahun (RKT) 2016. Pertanyaan yang jawabannya ditemukan dalam term of reference (TOR) ini ia ungkap kembali dengan alasan bahwa TOR kegiatan tidak sekedar persoalan administrasi semata tapi merupakan hal yang subtansi – dengannya merupakan panduan kita dalam mengarahkan tujuan kerja, ungkapnya bersemangat.
Tujuan umum RKT menurut ketua panitia Fadjrianto, adalah “terpetakannya peluang dan tantangan organisasi ke depan serta terumuskannya rencana aksi tahun 2016”. Dasar pemikiran menurut pengelola WEB YMP ini karena “dalam satu tahun terakhir ini, dinamika kerangka hukum atas ruang hidup dan wilayah kelola rakyat cenderung mulai memberikan hak dan akses kepada rakyat”.
Ia mencontohkan banyak kebijakan terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Agaria/Kepala BPN No. 9/2015 Tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; serta Permen LHK No 32/2015 tentang Hutan Hak merupakan dua contoh regulasi produk ekeskutif. Yang paling mutakhir adalah pada tanggal 10 Desember 2015, Mahkamah Konstitusi menerbitkan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014 mengenai pengujian UU No. 18 Tahun 2013 tentang P3H dan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Di mana dalam Putusan MK 95 tersebut mengubah ketentuan tindak pidana kehutanan sehingga mengakhiri kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.
Sepanjang tahun 2015, menurut manajer YMP Azmi Siradjuddin “telah terjadi berbagai perkembangan terhadap program kerja YMP yang berkaitan dengan : 1) pemenuhan akses dan kontrol atas pemanfaatan ruang hidup masyarakat (wilayah kelola) melalui skema CBFM; 2) layanan pendidikan alternatif melalui skola lipu; 3) pembelajaran advokasi kasus baik litigasi maupun non litigasi melalui simpul bejar advokasi kampung; serta 4) pemahaman strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim”.
Beberapa capaian implementasi program ini diharapkan juga memberikan implikasi lebih kepada wilayah sekitar baik untuk replikasi maupun scaling-up. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ada kendala dan tantangan yang menghambat pencapaian tujuan program baik dari eksternal maupun dari internal. Secara faktual ia mencontohkan YMP telah menginisasi kelompok kerja perhutanan sosial; YMP juga tergabung dalam forum peradilan adat sulteng; ada 3 desa yg diverifikasi terkait hutan desa/hutan adat, dan lainnya. Menurut Edy Wicaksono, “kegiatan lapangan relatif kurang dibackup informasi dan dokumentasi contohnya kasus Pinapuan dan Podi”. Olehnya menurut koordinator CBFM ini bahwa “penting ada perencanaan kampanye bagi masing-masing koordinator”. (Ipul)