Menjemput Masa Depan Anak Masyarakat Adat

Perjumpaan informal sembilan tahun silam menyibak jalan pergumulan bagi Amran Tambaru (46) bersama masyarakat adat di daerah pegunungan Kabupaten Tojo Una-Una dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Melalui lembaganya, dia menggagas dan menyelenggarakan sekolah kampung untuk anak-anak masyarakat adat. Anak-anak pun punya asa untuk menjemput masa depan.

Amran Tambaru
Insert Foto : Amran Tambaru Direktur Yayasan Merah Putih Dengan Penghargaan Dari Trubus Kusala Swaday

Pada 1996, sejumlah warga Lipu (Kampung) Mpoa, bagian dari suku Wana, berbincang-bincang dengan Amran di pasar di Kecamatan Ampanatete, Tojo Una-Una. Mereka mengeluhkan bahwa anak- anak mereka yang mengikuti pendidikan di sekolah dasar tidak berkembang. Malah mereka minder dengan anak-anak lain yang mayoritas transmigran dari Pulau Jawa. Kondisi itu membuat mereka berhenti melanjutkan pendidikan di jenjang SD.

Warga yang tak mengenyam pendidikan formal tersebut juga menceritakan sering ditipu pembeli di pasar saat menjual damar dan rotan. Pembeli sering menciutkan berat hasil bumi mereka.

”Setelah mendengar curhat (curahan hati) warga, kami berpikir untuk merancang sebuah model pendidikan yang tidak membuat mereka terasing dengan lingkungan sekitar,” tutur Amran, Direktur Yayasan Merah Putih (YMP) di Palu, Sulteng, Rabu (6/1).

Tahun itu juga YMP mulai menyelenggarakan pendidikan informal yang dinamai skola lipu (sekolah kampung). Program menyasar anak-anak usia 7-15 tahun di Lipu Mpoa. Saat itu, jumlah anak yang mengikuti pendidikan 20 orang.

Sebagai rintisan, materi pendidikan berkisar seputar kemampuan dasar, mulai dari membaca, menghitung, hingga menulis. Sekolah dilaksanakan di banua bae(rumah adat), balai dengan konstruksi kayu dan berbentuk panggung.

Suku Wana mendiami daerah pegunungan Tojo Una-Una dan Morowali Utara. Sejak awal, mereka sudah mendiami wilayah yang dikelilingi hutan. Mereka masyarakat adat yang mengelola wilayahnya jauh sebelum pemerintahan formal terbentuk dan punya tata kehidupan sendiri dalam memperlakukan lingkungan (hutan). Saat ini tercatat sekitar 22 kampung suku Wana. Karena topografinya di perbukitan, hingga kini kampung- kampung suku Wana tidak bisa dijangkau dengan kendaraan. Kampung hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

Insert Foto : Proses Belajar Skola Lipu di Tepi Sungai

Melihat terselenggaranya pendidikan di Lipu Mpoa, tokoh masyarakat lipu lain pun tergerak. Mereka ingin anak-anak mengenyam pendidikan sebagai bekal mengarungi masa depan. Sejak tahun 2000, sekolah yang sama dilaksanakan di enam lipu yang lain. Di Tojo Una-Una, semuanya ada 16 lipu. Karena ada lipu yang berdekatan, sekolah diadakan di lipu yang mudah digapai warga lipu sekitar.

Untuk mencapai lipu tersebut, Amran dan delapan pengajar lain dari YMP berjalan kaki naik dan turun gunung. Ada lipu yang baru bisa dijangkau dalam dua hari perjalanan. Saat itu, jadwal sekolah sulit dipatok baik karena sulitnya mobilisasi pengajar maupun kebiasaan warga yang selalu membawa anak-anak mereka ke kebun.

”Bersama tokoh setempat, kami buat kesepakatan. Sekolah bisa diselenggarakan di kebun dan sungai. Anak-anak mengikuti pendidikan, orangtua mereka berkebun,” kata bapak dua anak yang pernah mengikuti Kongres Internasional tentang Perlindungan Hutan Berbasis Hak di Norwegia pertengahan tahun lalu.

Dengan jumlah peserta yang makin banyak, materi ajar diperluas, antara lain pengetahuan umum (sejarah, ilmu alam) dan pengetahuan lokal (kearifan lokal). Kearifan lokal terutama terkait dengan pertanian selaras alam. Di sini peserta diperkenalkan maksud dibalik cara-cara orangtua memadukan kelestarian lingkungan dengan kegiatan pertanian.

Insert Foto : Belajar di Dalam Ruang Kelas Beralas Tikar “Skola Lipu”

”Masyarakat Wana mempraktikkan pangale. Kearifan lokal ini dijelaskan nilainya agar disadari dan terus dilestarikan,” tutur alumnus Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu, itu.

Pangale adalah pembagian hutan berdasarkan peruntukan. Ada kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan untuk perkebunan, ada pula yang tidak boleh dikelola karena dianggap keramat. Kearifan lokal tersebut menjaga kelestarian hutan.

Anak-anak pun diperkenalkan dengan pembuatan pupuk organik dengan bahan dasar yang ada di lingkungan sekitar. Ini juga bertujuan untuk mempertahankan kesuburan tanah.

Tak hanya bergerak di lapangan, Amran juga berjuang pada tataran advokasi kebijakan. Bersama kawan-kawannya di YMP, dia meyakinkan Pemerintah Kabupaten Tojo Una-Una untuk mengakui penyelenggaraan skola lipu. Setelah dialog yang panjang, pemerintah mengeluarkan peraturan yang intinya mengakui penyelenggaraan sekolah tersebut pada 2011.

”Peraturan itu penting karena secara tidak langsung itu pengakuan atas absennya negara bagi suku Wana,” ucap suami dari Roslina Laraga (45) ini.

Dengan peraturan tersebut, anak-anak bisa mengantongi Sukma (surat keterangan mampu), yaitu sertifikat yang bisa dipakai untuk mengenyam pendidikan formal di jenjang SD. Biasanya, peserta skola lipu meneken Sukma untuk masuk ke kelas V. Sekolah tujuan tak bisa menolak karena sertifikat itu diproses ketat dengan melibatkan tim verifikasi dari kecamatan dan kabupaten.

Tidak menyebutkan jumlah pasti, Amran menyampaikan saat ini tidak kurang dari 20 anak duduk di bangku SMP berkat Sukma. Di Tojo Una-Una hingga 2015, tercatat 200 anak menjadi pesertaskola lipu.

Melihat antusiasme suku Wana di Tojo Una-Una mengikuti pendidikan informal tersebut, Amran mereplikasi program serupa untuk menjangkau masyarakat adat di Morowali Utara. Pada 2012, enam lipu suku Wana di kabupaten pemekaran dari Morowali itu disentuh dengan skola lipu. Jumlah peserta di sana 70 orang.

Sebagaimana di Tojo Una-Una,akses ke lipu di Morowali Utara sangat minim. Masyarakat tinggal di hutan-hutan. Satu lipu bahkan ”dikurung” Cagar Alam Morowali.

Selain fasilitator dari YMP,skola lipu juga dibantu oleh para mahasiswa yang menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Tojo Una-Una. Di Tojo Una-Una ada lima pengajar, sementara di Morowali Utara tiga pengajar. Saat ini rata-rata frekuensi pertemuan skola lipu sebanyak empat kali dalam seminggu dengan durasi pertemuan 2 jam.

Bagi Amran,skola lipu tidak hanya kritis atas absennya negara dalam memenuhi hak dasar warga, tetapi juga hikmah bahwa model pendidikan formal tidak bisa disamaratakan di semua tempat. Di wilayah tertentu, pendidikan perlu diselenggarakan dengan tidak mencerabut mereka dari akarnya. (Videlis Jemali)

Sumber : Kompas Cetak Edisi 15 Januari 2016 (link e-paper)

Lihat Juga

Peta Jalan Hutan Adat Sulteng Disusun

Palu, Metrosulawesi – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah serta unit pelaksana ...

Peta Jalan Hutan Adat Disusun

PALU, MERCUSUAR – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, komunitas adat bersama pemerintah daerah, serta unit pelaksana ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *