Transmigrasi Bayang Tersandera Kepentingan KPH, Tambang dan Pembalakan Liar

“Bagi warga Trans Bayang, menjadi pembalak liar bukanlah pilihan. Tapi keterpaksaan di tengah himpitan ekonomi yang mendera”. Status Tanah Mengambang

Sungguh tragis nasib warga di lokasi transmigrasi Bayang Desa Rerang, Kabupaten Donggala. Sejak tahun 2004 mereka menghuni lokasi transmigrasi tersebut, tidak pernah ada perhatian dari pemerintah. Termasuk, hingga kini status tanah yang mereka tempati belum jelas. Lahan Pekarangan dan Lahan Satu belum disertifikatkan oleh pihak BPN. Bahkan, Lahan Dua yang dijanjikan sampai kini belum mereka peroleh. Informasi tersebut diperoleh ketika Yayasan Merah Putih (YMP) berkunjung ke sana pada September silam.

Pada bulan November 2004, gelombang pertama pemukim sebanyak 100 KK ditempatkan, Mereka berasal dari beberapa daerah di Jawa Timur. Selanjutnya, pada Desember 2004, diikuti oleh gelombang kedua dan ketiga, yang berjumlah 200 KK dari masyarakat lokal Rerang. Dengan demikian, total 300 KK sebagai penghuni lokasi transmigrasi Bayang.

Lokasi Trans Bayang sebenarnya memang bermasalah. Selain status lahan yang tidak jelas secara hukum, juga proses pengadaan tanahnya dilakukan secara sepihak. Menurut pengakuan Nurahad, warga asal Jawa Timur, sebelum berangkat ke lokasi pada tahun 2004 silam, mereka terlebih dahulu dijanjikan potensi lokasi trans yang akan ditempati.

Menurut pemaparan pihak Kementrian Nakertrans waktu itu, tanah yang akan ditempati subur dan berpotensi untuk tanaman jangka menengah dan panjang. Selain itu, mereka juga dijanjikan akan memperoleh 2 hektar lahan masing-masing rumah tangga. Tanah itu konon akan langsung diserahkan hak miliknya berupa sertifikat hak milik. Ketika warga telah menetap selama 2 tahun. Janji lain dari pemerintah bahwa, tanah yang akan mereka tidak jauh dari akses pelayanan publik.

Namun sayang, tanah yang dijanjikan tersebut benar-benar jauh dari harapan. Lokasinya cukup jauh dari pusat aktivitas di Desa Rerang. Untuk menuju ke lokasi tersebut, kita perlu menempuh jarak 5 Km dari pusat desa. Dengan fisik jalan mendaki dan berlubang sepanjang 3 Km dari jalan poros Trans Palu – Toli Toli. Jenis tanah jalan tersebut adalah tanah liat bercampur kerikil akibat pengerjaan jalan beberapa tahun lalu. Ketika hujan turun, maka tak satupun kenderaan dapat melalui medan jalan yang berlumpur dan berlubang.

Keterpencilan jugalah, yang menyebabkan warga trans jarang berinteraksi dengan warga Rerang di pusat perkampungan.  Hanya sebulan sekali warga trans turun ke pasar, membeli keperluan secukupnya. Jangan pula ditanyakan soal layanan publik, terutama kesehatan dan pendidikan.  Memang ada Pusat Kesehatan Terpadu (Pustu) di lokasi trans. Namun, hanya sekali dikunjungi oleh Mantri ataupun Bidan dalam sebulan. Itupun ketika cuaca cerah. Ketika musim hujan, petugas kesehatan pun tak pernah sampai ke lokasi.

Satu-satunya fasilitas pendidikan adalah Sekolah Dasar Kelas Jauh Rerang. Dengan satu orang pengajar, dibantu oleh sejumlah relawan pengajar dari warga trans. Jika hendak melanjutkan ke jenjang sekolah menengah, anak usia sekolah mesti ke Rerang. Dengan pilihan menumpang di salah satu rumah warga Rerang, sebagai anak asuh. Sebab, jika harus bolak balik setiap hari, ongkos naik ojek sangat mencekik. Biaya naik ojek dari Rerang ke Bayang atau sebaliknya adalah 50 Ribu sekali jalan. Bahkan terkadang lebih besar jika penumpang membawa barang.

Hingga lebih dari sewindu lamanya, tanah yang dikelola warga trans hanya Lahan Satu beserta Lahan Pekarangan tempat rumah berdiri. Lahan Dua yang dijanjikan sejak dulu kala, tak pernah dinikmati sampai hari ini. Lahan Satu yang  kini mereka kelola, tidak mencukupi sebagai basis produksi. Belum lagi, status tanah yang tidak jelas membuat warga tidak nyaman mengelola lahan perkebunannya.

Dikepung KPH, Tambang dan Pembalakan Liar Keberadaan KPH Dampelas Tinombo seluas 100.912 Ha, dipandang sebagai salah satu kendala dalam realisasi pelepasan Lahan Dua kepada warga trans. Hal tersebut terungkap dari penjelasan Imam Masjid, yang kami jumpai di Bayang pada bulan Agustus. Menurutnya, pemerintah desa dan kecamatan seringkali diberitahu dari pihak kabupaten bahwa ada kendala kehutanan. Dari informasi yang diperolehnya, hutan di sebelah timur dan selatan Bayang adalah hutan lindung dan produksi. Bahkan, pal-pal batas kehutanan telah terpasang di beberapa titik. Areal yang dicadangkan untuk lahan dua Trans Bayang, diyakini masuk ke dalam kawasan  KPH Dampelas Tinombo.

Sebagai KPH percontohan, unit manajemen kehutanan ini diberi tugas pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan yang tersebar di 6 wilayah kecamatan.  Hutan di wilayah Sojol, Dampelas dan Balaesang di kabupaten Donggala. Serta di wilayah Kasimbar, Tinombo dan Tinombo Selatan di Kabupaten Parigi Moutong. Proyeksi pengelolaan KPH ini ialah produksi. Dengan rencana semula, akan memberikan peluang lebih besar kepada masyarakat setempat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan di dalamnya.

Tapi, KPH juga menyimpan masalah terpendam. Unit manajemen pada UPTD KHP Dampelas Tinombo bermasalah terkait relasi dan interaksinya terhadap masyarakat setempat.  Sejak KPH ini hadir, pendekatan kepada warga terasa minim, bahkan mengundang polemik. Puncaknya, penolakan terhadap KPH di Desa Talaga. Warga menolak, karena batas kawasan hutan yang dipasang oleh tim KPH masuk hingga ke lahan pertanian mereka.

Sejak tahun 2010, PT. YME milik David Siregar, melalui anak perusahaannya bernama PT. ARTP, menanamkan investasinya untuk pertambangan biji besi dan galena. Mereka memperoleh konsesi dari Bupati Donggala seluas 3.800 Ha.  Dengan lokasi aktivitas di Desa Rerang, Kecamatan Dampelas. Perusahaan itu memperoleh modal ventura dari perusahaan China  Quangxi Trade Co. Ltd.

Kehadiran perusahaan tambang ini menimbulkan sikap terbelah di tengah masyarakat. Sebahagian masyarakat di Desa Rerang, termasuk di Dusun Bayang, mengakau senang dengan kehadiran perusahaan tambang itu. Karena, mereka punya kesempatan untuk mengajukan diri sebagai tenaga kerja kontrakan di perusahaan bersangkutan. Sedangkan yang lainnya, menolak karena khawatir terhadap dampak negatif pasca kegiatan pertambangan.

Dari sisi manfaat secara ekonomi, kehadiran perusahaan tidak benar-benar efektif mendongkarak kesejahteraan warga. Kalaupun ada warga setempat yang menjadi tenaga kerja, hanya diposisikan sebagai buruh harian, bukan pegawai organik perusahaan. Dari penuturan warga yang kami jumpai, terbesit kabar bahwa sudah lebih dari 20 orang Rerang yang pernah bekerja di perusahaan tersebut. Kini, mereka tidak lagi bekerja, sebab jenis pekerjaan yang memerlukan tenaga buruh kontrakan sudah rampung.

Bagi warga Trans Bayang, perushaaan ini dianggap memiliki kepentingan terhadap Lahan Dua yang belum diterima oleh warga. Menurut salah seorang warga Bayang, konon potensi galian mineral melimpah seperti besi, nikel dan emas justru terdapat di areal yang dicanangkan untuk Lahan Dua. Karena itulah, tertundanya pemberian Lahan Dua yang telah berlangsung lama itu, ditengarai karena kepentingan perusahaan tambang. Apalagi, perusahaan tambang pasti meminta balas jasa, setelah memperbaiki dan melakukan pengerasan jalan penghubung menuju lokasi transmigrasi.

Kepentingan lain yang menghambat proses pembangunan di Trans Bayang adalah pembalakan liar. Hampir sebahagian warga trans menyatakan pernah terlibat sebagai tenaga kerja pada cukong kayu ilegal. Bahkan, operasi pembalakan liar sampai hari ini masih berlangsung. Di mana sebahagian warga trans masih terlibat bekerja di dalamnya. Cukong kayu liar tersebut katanya berasal dari luar daerah, dan memiliki modal besar. Sehingga, dengan bebas melakukan aktivitasnya tanpa takut terhadap sanksi hukum.

Bagi warga Trans Bayang, menjadi pembalak liar bukanlah pilihan. Tapi keterpaksaan di tengah himpitan ekonomi yang mendera. Karena lahan satu yang mereka kelola saat ini hanya cocok untuk tanaman jangka menengah dan panjang. Sehingga, hasilnya pun tidak sebesar yang diharapkan, karena mesti menunggu musim panen tahunan. Tanaman seperti durian, rambutan dan langsat, memang tidak setiap bulannya dapat berproduksi. Apalagi, tanaman seperti kemiri, yang cukup lama baru dapat berbuah.

Adapun areal lahan dua yang pernah dicanangkan sebelumnya memang lebih landai. Sehingga cocok untuk difungsikan sebagai lahan pertanian, terutama tanaman palawija. Seperti padi ladang, kedelai, jagung dan umbi-umbian. Sayang sekali, Lahan Dua yang dijanjikan tidak pernah diberikan. Pilihan terburuk pun jadi santapan mereka. Pertama, meniggalkan lokasi trans, dan pulang ke daerah asal. Kedua, memilih menetap dengan resiko menjadi pembalak liar yang rentan dengan sanksi hukum. “Kami tidak punya sumber yang cepat untuk memperoleh duit buat membeli beras, selain ikut cukong kayu,” ujar Nurhayat, warga asal Jawa Timur yang memilih bertahan. *[Azmi].

Lihat Juga

KARAMHA Sulteng Dorong Hutan Adat Masuk Dalam Perda Tata Ruang

PALU – Berbicara tentang Hutan Adat, Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) ...

Tidak Diganggu Saja Tau Taa Bisa Hidup Baik

     13 Agustus 2022, bertempat di Balai Pertemuan Lipu Kasiala Kabupaten Tojo Una-una dilaksanakan ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *