Sore yang hikmad di Salisarao. Sejuk dan tenang. Salisarao adalah sebuah Lipu (kampung) yang berada dalam wilayah adat Tau Taa Wana di pegunungan Tokala, Kab. Morowali Utara. Tak berapa lama suara anak-anak terdengar mendekat, sepertinya berlari. Dan memang berlari, mereka berlomba menuju bangunan pondok kayu di mana kegiatan belajar akan dimulai. Seorang gadis kecil tampak berlari paling depan mendahului teman-temanya. Gadis kecil itu bernama Serli.
Serli menjadi salah satu warga belajar di Skola Lipu, sebuah lembaga belajar tingkat lipu yang dihidupkan oleh guru-guru lokal. Diantara warga belajar lain Serli paling menonjol dalam hal prestasi belajar. Semangat belajarnya begitu tinggi, hingga ia menguasai kemam-puan baca, tulis, hitung dalam kurun waktu yang relative singkat. Dengan kemampuan ini, tak jarang Serli mengambil alih peran guru lokal untuk mengajar teman-temanya.
Serli adalah sosok yang periang, kemampuannya dalam mengkoordinir teman-temanya sangat membantu guru lokal. Salah satu nilai tambah dari Serli adalah kemampuannya berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Bermodalkan kemampuan itu Serli sering menjadi tempat bertanya bagi warga belajar lain yang umumnya belum bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Meski dikenal periang oleh teman-teman dan guru lokal, tidak berarti Serli dapat dengan mudah akrab dengan orang-orang yang baru ia kenal. Namun dibanding anak-anak seusia di kampungnya, Serli tak membutuhkan waktu yang begitu lama untuk bisa bekerja sama dengan orang lain.
Keseharian Serli dan umumnya warga belajar lain adalah membantu orang tua mereka di kebun, bahkan keluar masuk hutan karena letak kebun yang agak jauh dari pemukiman. Ketika masa panen tiba, Serli dan warga belajar lain tidak punya waktu untuk pergi ke Skola Lipu, sebab aktifitas di kebun akan meningkat. Selain itu Serli juga bertugas menjaga kedua adiknya yang masih kecil yakni Sera dan Stevan.
Kedua orang tua Serli lah yang menjadi guru privat bagi Serli. Ija dan Bur, mereka memang sempat mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) formal sewaktu kecil meski tidak sempat menamatkanya. Tidak seberuntung kedua orang tuanya, Serli tidak pernah merasakan bangku sekolah formal sebab tempat tinggal mereka sangat jauh dari sekolah formal, bahkan sangat jauh dari desa terdekat.
Dalam situasi seperti ini, maka Skola Lipu menjelma menjadi harapan satu-satunya bagi anak-anak Tau Taa Wana untuk mengenyam pendidikan, mampu menulis surat, melakukan perhitungan, dan membaca buku, majalah atau cerita dongeng seperti anak-anak pada umumnya.
Serli bisa menjadi sosok pembaharu, titik cahaya, dan tumpuan harapan, bagi generasi Tau Taa Wana dalam mempertahankan diri dari ancaman himpitan zaman yang dapat menggilas identitas mereka, nilai sosial mereka, bahkan tanah leluhur sekali pun. Sesuatu yang Serli sendiri bahkan belum bisa pahami.
Saat ini serli sudah masuk ke pendidikan keak-saraan tingkat lanjut karena kemampuan baca tulis dan hitung nya sudah sangat baik. Kelak dia diharapkan dapat menjadi kader pendidikan untuk Skola Lipu, menggantikan ibunya Ija yang saat ini menjadi guru lokal mereka di Salisarao. Sesuai harapan Ija agar a-naknya bisa berguna bagi banyak orang.
Ditanya tentang cita-cita Serli menjawab sederhana dan polos, “Belum tahu, nanti kalau besar baru tahu mau bikin apa.” (Yani)