PALU, MERCUSUAR – Masyarakat adat dan beberapa aktivis yang tergabung dalam Aliansi peduli masyarakat adat hari ini, Kamis (1/12/2016), akan mendatangi DPRD dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk melakukan unjuk rasa terkait Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) Tau Taa Wana.
Gerakan aksi tersebut untuk menuntut Pemprov Sulteng agar segera meregistrasi Perda PPMHA Tau Taa Wana yang telah disahkan oleh DPRD Kabupaten Tojo Unauna (Touna) pada 8 November 2016 lalu.
Aksi tersebut akan start dari Taman Gor, Jalan Mohamad Hatta Palu menuju kantor Gubernur dan berakhir di kantor DPRD Sulteng, sekaligus langsung melakukan rapat dengar pendapat atau hearing.
Sebelumnya, Pemprov Sulteng dinilai tidak berpihak kepada Masyarakat Adat, khususnya masyarakat adat tau Taa Wana, Kabutaten Touna.
Hal ini disebabkan karena Biro Hukum Setda Provinsi Sulteng tidak akan melakukan resgistrasi atau penomoran Perda PPMHA Tau Taa Wana yang telah disahkan melalui Rapat Paripurna di DPRD Kabupaten Touna 8 November 2016 lalu.
Hal ini diungkapkan oleh Moh. Arif Latjuba, Asisten I dan diperkuat dengan pernyataan dari Agus Sujono selaku kepala bagian di Biro Hukum Provinsi Sulteng ketika audiensi dilakukan hari Jumat (25/11/2016) di Kantor Gubernur Sulteng.
Penolakan untuk meregistrasi Perda tersebut disebabkan karena keberatan atas substansi pasal 10 tentang hak dan pembangunan, yang menurut mereka ada indikasi negara dalam negara. Disamping itu, Perda tersebut cenderung deskriminatif karena hanya fokus ke masyarakat adat Tau Taa Wana.
Namun hal ini dibantah Akademisi Fakultas Hukum Universitas Tadulako, DR. MHR Tampubolon, SH MH.
Menurut doktor lulusan Universitas Brawijaya tersebut bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam bentuk Perda merupakan mandat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
“Pada pasal 67 ayat 2 UU ini menjelaskan bahwa Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Selain itu menurutnya, terkait pasal 10 soal hak dan pembangunan dalam Perda PPMHA Tau Taa Wana yang menjadi kekhawatiran akan adanya “negara dalam negara” merupakan sikap dan pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai Logical Fallacy , artinya sesat pikir dan merusak,” kata MI1R Tampubolon belum lama ini.
Senada dengan hal tersebut Direktur Yayasan Merah Putih (YMP), Amran Tambaru, keberadaan pasal 10 tersebut merupakan terjemahan dari Peraturan Gubernur (Pergub) No. 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum FPIC (Free, Prior, and Informated Consent). Dimana kata dia, mekanisme PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan) ini merupakan hak fundamental masyarakat adat dan masyarakat, local, untuk menentukan pilihan ketika ada rencana pembangunan dan investasi yang akan mengancam kehidupan di wilayah adatnya.
Merujuk pada dokumen Strategi Daerah REDD+ (yang telah dilegalisasi dalam bentuk Pergub No. 36 Tahun 2012)lanjut dia, juga memandatkan pemerintah daerah untuk mempercepat pengakuan masyarakat hukum adat di Sulteng.
“Ini artinya bahwa ada inkonsistensi Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sulteng, dimana menolak registrasi Perda Tau Taa Wana, di sisi lainnya telah menerbitkan regulasi (Pergub) yang mengatur dan mendorong pengakuan hak atas masyarakat adat di Sulteng. Ada apa dengan sikap birokrasi seperti ini,” tanya Amran.
Ketua Forum Peradilan Adat Sulteng, Andreas Lagimpu, menyayangkan sikap Pemprov Sulteng tersebut. Menurut tokoh adat Keadatan Kulawi ini penolakan terhadap Perda PPMHA Tau Taa Wana merupakan tindakan yang justru tidak searah dengan semangat Pergub No. 42 Tahun 2013 tentang Pedoman Peradilan Adat di Sulteng yang diterbitkan oleh Gubernur. Di mana Pergub ini justru mengakui keberdaaan masyarakat adat sekaligus mengakui praktik-praktik peradilan adat yang dijalankan oleh komunitas adat.
Pandangan yang sama juga di lontarkan oleh Ketua Pengurus Wilayah Aliansi. Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Sulteng, Rizal Mahfud yang mengatakan bahwa sikap yang ditunjukan oleh Pemprov Sulteng tersebut dapat dimaknai tidak menjalankan mandat konstitusi.
“Pada Pasal 18B UUD 1945 (Hasil Amandemen Kedua Tahun 2000) menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Artinya, kejadian ini menunjukkan Pemprov Sulteng tidak memiliki political will terhadap hak – hak masyarakat adat di Sulawesi Tengah,” tandasnya. (Tin)
Sumber : Mercusuar Edisi 1/12/2016