JAKARTA, KOMPAS.com – Sejumlah masyarakat hukum adat dan organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk segera menetapkan kawasan hutan adat.
Pasalnya, pendaftaran kawasan hutan adat telah diajukan sejak 5 Oktober 2015 ke Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK).
Penetapan kawasan hukum adat tersebut diajukan oleh masyarakat hukum adat Marga Serampas di Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, masyarakat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, masyarakat Lipu Wana Posangke di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dan Kasepuhan Karang di Kabupaten Lebak, Banten.
Namun, hingga saat ini KLHK belum juga mengeluarkan penetapan kawasan hutan adat.
Nia Ramdhaniati dari The Indonesian Institute for Forest and Environment mengatakan, Pemerintah harus segera menetapkan hutan adat sebagai perwujudan komitmen hadirnya negara bagi masyarakat hukum adat.
“Penetapan hutan adat juga menjadi sokongan bagi komitmen Presiden Jokowi dalam menuntaskan target 12,7 juta hektar hutan untuk rakyat dalam program Nawacita-nya,” ujar Nia dalam diskusi “Masyarakat Hukum Adat Menagih Janji Penetapan Hutan Adat”, di Jalan Veteran I, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2016).
Nia menuturkan, lambannya proses penetapan hutan adat patut dipertanyakan.
Menurut dia, empat masyarakat hukum adat tersebut telah memenuhi seluruh persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Menteri LHK No. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak untuk ditetapkan sebagai hutan adat.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Diki Kurniawan, sekaligus pendamping masyarakat adat Marga Serampas, mengatakan, keempat masyarkat adat telah melampirkan sekurang-kurangya tiga dokumen.
Tiga dokumen tersebut adalah surat pernyataan permohonan penetapan hutan adat, Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, serta peta wilayah dan hutan adat mereka.
“Mereka juga sudah melewati proses verifikasi dan validasi oleh KLHK,” kata Diki.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia, Dahniar Adriani mengatakan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU – X/2012 telah dinyatakan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.
Permen LHK 32/2015 juga mengatur hal serupa.
Belum adanya penetapan hutan adat ini, kata Dahniar, juga bertentangan dengan janji Presiden Joko Widodo agar seluruh hambatan dalam merealisasikan dan mengimplementasikan perhutanan sosial segera diatasi.
“Presiden bahkan meminta Menteri lingkungan hidup dan Kehutanan untuk segera menyederhanakan regulasi dan prosedur agar perhutanan sosial mudah diakses masyarakat, memberikan perhatian terhadap hak-hak masyarakat adat dan segera mengeluarkan penetapan hutan adat, terutama yang telah memenuhi persyaratan,” kata Dahniar.
Ketidakjelasan pemerintah
Kepala Pemerintahan Adat Ammatoa Kajang, Andi Buyung Labbiriya, mengaku heran belum dikeluarkannya ketetapan hutan adat oleh pemerintah.
Menurut Andi, saat mengunjungi desanya, Menteri LHK Siti Nurbaya pernah menyampaikan bahwa proses pengajuan penetapan kawasan Ammatoa Kajang sudah selesai.
“Hutan adat Ammatoa telah dikunjungi Menteri lingkungan hidup dan Kehutanan tapi masih belum ditetapkan. Saya merasa tidak ada lagi alasan untuk penundaan penetapan. Kalaupun ada penundaan harus ada alasan yang jelas,” ujar Andi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sairin, perwakilan masyarakat hukum adat Marga Sarampas.
Sairin menuturkan, sudah sejak lama, masyarakat Marga Sarampas secara turun temurun menjaga hutan adat mereka.
Bupati Merangin pun sudah menetapkan kawasan hutam itu sebagai hutan adat Marga Sarampas.
“Sekarang saatnya pemerintah pusat segera menetapkan hutan adat,” ujar Sairin.
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
sumber : kompas.com