JAKARTA, KOMPAS.com – “Tanah adat kami berasal dari leluhur. Apa kami tidak dipercaya untuk merawat hutan kami sendiri?” ujar Iku sambil sedikit terbata-bata.
Iku adalah seorang pemangku adat masyarakat Lipu Wana Posangke yang menetap di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah.
Dia bersama masyarakat adat lainnya tengah berupaya meminta penetapan kawasan hutan adat kepada pemerintah.
Dalam sebuah diskusi bertajuk “Masyarakat Hukum Adat Menagih Janji Penetapan Hutan Adat” di Jalan Veteran I, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2016), Iku menuturkan, sejak 2013 masyarakat Lipu Wana Posangke berjuang untuk penetapan tersebut.
Namun, hingga saat ini, pemerintah belum menerbitkan ketetapan kawasan hutan adat yang diminta oleh masyarakat Lipu Wana Posangke.
Iku pun menyatakan kekhawatiran jika pemerintah tidak mempercayai masyarakat Lipu Wana Posangke mampu menjaga kawasan hutannya sendiri.
“Empat tahun kami berjuang untuk penetapan hutan adat, sampai hari ini pemerintah pusat tidak serius menerbitkan keputusan tentang hutan adat Wana Posangke,” ucapnya.
Keberadaan masyarakat adat Lipu Wana Posangke telah diakui oleh pemerintah daerah melalui Perda Kabupaten Morowali Nomor 13 tahun 2014.
Perda tersebut menjadi modal bagi masyarakat untuk mendaftarkan penetapan hutan adat ke Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan.
Pada 5 Oktober 2015 masyarakat adat Wana Posangke, didampingi organisasi masyarakat sipil mendaftarkan permohonan penetapan hutan adat seluas 25.656 hektar.
Berbagai persyaratan sesuai Peraturan Menteri Peraturan Menteri LHK No. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak mereka penuhi.
Persyaratan itu mencakup surat pernyataan permohonan penetapan hutan adat, Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, serta peta wilayah hutan adat.
Namun nampaknya harapan Iku dan masyarakat adat lainnya belum bisa terwujud.
Kearifan lokal
Pada kesempatan yang sama, Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Diki Kurniawan mengatakan, setiap masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam mengelola hutan adatnya.
Menurut Diki, masyarakat adat biasanya memiliki peraturan tidak tertulis yang mengatur wilayah hutan mana yang bisa dimanfaatkan dan mana yang dilindungi.
Peraturan tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan karena kehidupan masyarakat adat sangat tergantung pada keberadaan hutan.
“Dari dulu masyarakat adat sudah mengatur wilyah adatnya sendori. Mana yang dilindungi mana yang bisa dimanfaatkan,” ujar Diki.
Oleh sebab itu, kata Diki, jika Pemerintah ragu untuk menetapkan kawasan hutan adat karena masyarakat dinilai tidak mampu menjaga adalah alasan yang keliru.
Penulis : Kristian Erdianto
Editor : Bayu Galih
sumber : kompas.com