Masyarakat di Desa Pakuli dan Desa Simoro Kecamatan Gumbasa Kabupaten Sigi, menginginkan luasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) ditinjau kembali. Permintaan itu disampaikan oleh masyarakat yang hadir dalam diskusi kampung, yang dilaksanakan oleh Yayasan Merah Putih (YMP) dan REMAPPALA, pada tanggal 16 November 2012 di Desa Pakuli, serta tanggal 21 November 2012 di Desa Simoro. Kegiatan yang dilaksanakan oleh YMP dan REMAPPALA sekaitan dengan aktifitas pemantauan hutan, REDD+ dan perubahan iklim di wilayah Sulawesi Tengah. Seperti diketahui, penunjukan kawasan Nasional Taman Nasional Lore Lindu sebagai kawasan konservasi dilakukan pada tahun 1993 oleh Kementrian Kehutanan. Secara hukum, Taman Nasional Lore Lindu dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Keputusan No. 464/Kpts-Il/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas kawasan 217.991,18 ha. Sedangkan untuk pengelolaanya, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007. Sejak Tanggal I Februari 2007, diserahkan kepada Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, luasan kawasan konservasi itu justru mempersempit akses wilayah kelola masyarakat sekitarnya.
Permintaan itu disampaikan tidak hanya oleh masyarakat, tetapi juga aparat pemerintah desa. Di kedua desa tersebut, masyarakatnya mengakui masih memiliki nilai dan norma adat dalam pengelolaan hutan dan lahan. Tapi, mereka juga mengakui, bahwa, sudah tidak ada lagi wilayah kelola adat. Sebab, seluruh wilayah kelola rakyat telah dimasukkan ke dalam zona perlindungan (zona inti). Jadi, suatu ambigu, masyarakat mengakui masih punya nilai dan norma adatnya, tapi kawasan kelolanya sudah hilang.
Sedangkan, pertumbuhan penduduk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Hingga hari ini, total penduduk di kedua desa mencapai 2000 jiwa, setara dengan 720 KK. Tentunya, pertambahan penduduk akan disertai dengan kebutuhan akan lahan tambahan. Untuk lahan pertanian masyarakat maupun pemukiman, serta pembagunan infrastruktur. Saat ini, ruang kelola masyarakat untuk mata pencaharian terbatas pada kebun dan persawahan. Umumnya, di kebun itu mereka menanam durian dan kemiri. Bagi sebahagian orang di Pakuli, kebun-kebun ada yang ditanami tumbuhan obat-obatan.
Sementara itu, lahan kelola rakyat semakin menyempit, akibat pertumbuhan penduduk. Kebun-kebun yang ada tidak mencukupi satu hektar per rumahtangga. Begitupun dengan persawahan, walaupun suplai air tetap terjaga dari irigasi Gumbasa, tapi luasannya tidak siginifikan lagi menopang produksi pangan setempat. Akibatnya, ada sebahagian dari mereka terpaksa menjadi buruh tani. Ada pula yang terpaksa bermigrasi ke luar untuk mencari penghidupan baru. Misalnya, ke Palu dan ke ibukota Kabupaten Sigi di Biromaru. Pilihan migrasi ini tentunya mengandung risiko bagi mereka. Dengan keterampilan yang minim, akan menjadikan mereka sebagai buruh dengan upah rendah di perkotaan.
Sementara itu, kawasan Taman Nasional Lore Lindu yang luas terbentang di belakang rumah mereka tidak mungkin untuk dikelola. Karena belum ada kejelasan zonasi secara detail di lapangan. Antara zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Walaupun, dalam dua tahun terakhir ini, ada kebijakan dari Balai Besar TNLL agar zonasi disederhanakan saja bentuknya. Cukup zona perlindungan dengan luasan 60% dari total areal, serta 40% diperuntukkan bagi zona pemanfaatan. Tapi, rencana itu baru sebatas pernyataan lisan. Belum ada realisasi yang nyata.
Masyarakat memandang bahwa, seharusnya ada peninjauan ulang atau bahkan revisi atas luasan Taman Nasional. Mengingat, semakin terbatasnya akses wilayah kelola, termasuk untuk memanfaatkan sumber daya hutan. Semacam damar, rotan, lebah madu, sari aren dan tanaman obat. “Slogan hutan lestari masyarakat sejahtera harus dapat dibuktikan oleh pemerintah tidak hanya sebatas slogan,” ujar John Siwar, salah satu masyarakat di Desa Pakuli. Di tempat terpisah, Pak Karim, sesepuh Desa Simoro mendesak perlunya satu pertemuan akbar, menghadirkan seluruh kampung yang berada di dalam dan sekitar Taman Nasional. Saat ini, terdapat 61 desa atau kampung di Kabupaten Poso dan Sigi yang wilayahnya berbatasan atau berada dalam kawasan Taman Nasional. “Penting ada pertemuan seluruh desa di Taman Nasional untuk meminta revisi luas kawasan,” ujar Pak Karim, yang juga mantan Kepala Desa Simoro.
Keresahan masyarakat tersebut kelihatannya sudah diketahui oleh Balai Besar TNLL. Untuk membujuk masyarakat di kedua desa, pihak Balai dalam dua bulan terakhir meluncurkan proyek rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Jenis bibit tanaman yang dibagikan seperti kemiri, durian, aren, damar, palapi dan malapoga. Masing-masing 50 pohon setiap orangnya, dengan janji bahwa kelak, tanaman itu akan menjadi milik si empunya lahan. Tapi, upaya itu tetap meresahkan masyarakat. Sebab, mereka khawatir, janji pemerintah tidak akan ditepati soal kepemilikan atas tanaman yang telah mereka tanam.
Walaupun tampaknya Desa Pakuli maupun Simoro digadang-gadang sebagai lokasi tapak impelementasi proyek REDD+ di Kabupaten Sigi. Namun, hal itu tidak akan mempengaruhi niat masyarakat untuk tetap memintakan revisi atas luasan kawasan Taman Nasional. Sebab, bagi masyarakat di kedua desa tersebut, proyek REDD+ belum pasti menjamin perbaikan nasib mereka.*[Azmi]