Tulisan ini mencoba melihat bagaimana sesungguhnya kapitalisme industrualisasi pertambangan bekerja merontokkan tatanan social ekonomi masyarakat pada level kampong Poboya, dengan segala bentuk dampak jangka panjang yang ditimbulkannya.
Mencermati arus pergerakan modal, teknologi dan industri dalam kepentingan pengelolaan ladang pertambangan emas di Poboya, dapat diidentifikasi ada dua persekutuan kongsi bisnis yang sedang bertarung;
Pertama, kelompok kongsi bisnis PT.BR, pemilik komposisi saham 99,9% dari PT.CPM sebagai pemegang Kontrak Karya pengelolaan tambang emas Poboya sejak tahun 1997. PT. BR merupakan aliansi modal dari sejumlah perusahaan raksasa yakni PT SSI 3.69%, JPMorgan Chase Bank Na Re Nominees Ltd. 1.95%, Bank of New York 1.89% dan perusahaan Borjuasi yang juga birokrat nasional PT Bakrie and Brothers Tbk 14.28%, serta Jupiter Asia No. 1 Pte. LTD 4.30% yang berencana mengexploitasi pada tahun 2010, yang dikuatkan dengan Surat persetujuan terakhir yang dikeluarkan DESDM nomor 46.K/30.00/DBJ/2008 tanggal 13 Maret 2008[1].
Kedua, kelompok kongsi bisnis local yang tergabung dalam Asosiasi Penambang rakyat Indonesia (ASPERI). Suatu organasiasi persekutuan konglomerat local, yang beranggotakan para pemilik industry tromol dengan komposisi jumlah kepemilikan indutri tromol sebanyak 3.000,an yang saat ini beroperasi dan terus mengalami pertumbuhan di Poboya.
Pada level pertarungan dua persekutuan kongsi bisnis tersebut, terjadi tarik ulur yang menyeret posisi pemerintah daerah untuk bersikap ambivalen diantara dua kepentingan kongsi tersebut dalam menentukan sikap. Sebagai langkah kompromis sikap pemerintah pada akhirnya memberi ruang bagi kepentingan telah mematok harga mati dalam memberi porsi ruang lebih besar bagi kepentingan PT.BR dan memberi porsi ruang lebih kecil sebagai jalan kompromi bagi kepentingan kongsi bisnis local, untuk meredam potensi resistensi local melalui penerbitan Peraturan Walikota.
Jika dicermati, sesungguhnya kehadiran industrialisasi pertambangan telah menciptakan perubahan dinamika
social masyarakat Poboya secara kompleks. Masyarakat Poboya dalam sejarah peradaban sosial-ekonominya adalah merupakan supra -struktur sosial yang menggantungkan penghidupannya sebagai petani sub-sisten dengan mengandalkan basis produksi dan teknologi pertanian secara turun temurun dengan beragam komoditi produksi seperti jagung, bawang, kemiri, kelapa dan lainnya pada akhirnya bergerak pada transisi sosial ekonomi dengan meniggalkan moda produksi tanah, yang selama ini memiliki nilai historis dalam relasi pembentuk karakter corak produksinya sebagai entitas peradaban petani.
Meski diakui masyarakat Poboya yang hidup dengan corak produksi sebagai petani sub-sisten, nasibnya tidak jauh beda dengan nasib petani yang ada di Indonesia pada umumnya. Berbagai kebijakan pasar produksi pertanian dalam skema arus deras neo-liberalisme pasar sesuai Agreement on Agriculture WTO, membuat petani jatuh bangun untuk keluar dari tekanan kapitalisme pasar pada sector pertanian. Pada posisi ketidakberdayaan tersebut akhirnya, mendorong terjadinya proses transformasi kesadaran baru untuk alih teknologi dengan memilih menjadi penambang dimana motivasi pemicunya adalah temuan, dari laporan hasil survey dan kegiatan penyelidikan umum yang dilakukan oleh salah satu perusahaan tambang raksasa PT.RT melalui anak perusahaannya PT. CPM yang menemukan adanya kandungan bahan galian strategis emas dengan perkiraan deposit 18 juta ton bijih dengan kandungan 3,4 gram emas setiap ton pada wilayah tersebut[2].
Tergiur dengan harga pasaran emas local dan dorongan kerjasama bisnis dari para cukong pembeli emas, menyebabkan terjadinya arus memobilisasi kesadaran sosio-ekonomi masyarakat Poboya untuk melakukan aktivitas pertambangan disepanjang alur sungai, meski mengandalkan ayakan. Sedikitnya tahap awal teridentifikasi sebanyak 50 orang di Poboya yang menggeluti aktivitas penambang dengan teknologi ayakan sejak tahun 2000 hingga 2003. Inipula ikhwal dari proses konversi lahan-lahan pertanian berlangsung demi pemenuhan kepentingan exploitasi tambang emas.
Pergeseran kesadaran sosio-ekonomi masyarakat ternyata tidak bisa terbendung, pengetahuan teknologi industrialisasi secara mekanik mulai diperkenalkan oleh pemilik modal lokal dengan mendatangkan tenaga perakitan dari Gorontalo dan Manado, yang memiliki pengalaman menambang di Gorontalo, Bolaang Mongondo dan Bombana. Teknologi teromol ini menurut hitung-hitungan para penambang yang berpengalaman jika dalam 10 hari batu emas yang hasilkan mencapai 100 karung setelah diproses emas yang didapatkan mencapai 3 ons. Harga per ons diperkirakan Rp 17 Juta, kalau 3 ons berarti 17 juta kali 3 atau 50 juta lebih. Kondisi ini menjadi ikhwal dari sejarah okupasi kelas petani secara besar-besaran di Poboya dari-ke sektor dan subsektor non pertanian, yang digerakkan oleh para pengusaha kelas menengah local yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Rakyat (ASPERI).
Para pengusaha kelas menengah local dalam menjalankan kepentingannya, mengembangkan sistem kerjasama ekonomi, dengan menawarkan pembangunan tromol diatas tanah masyarakat, dan menjadikan pemilik tanah sebagai penanggung jawab atau semacamnya dalam mengurus manajement tromol. Keseluruhan penghasilan dari hasil penambangan menjadi milik sepenuhnya pemilik tromol. Penghasilan dari penanggung jawab, sejauh informasi yang didapatkan sangat tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak. Semua pola itu adalah scenario untuk menegaskan posisi para cukong pemilik tromol dari stigmatisasi sebagai lintah darat dan semacamnya melalui mekanisme bagi hasil berdasarkan besarnya nilai kumulasi hasil produksi yang ditetapkan oleh pemilik modal usaha –pemilik teromol[3]. Selain pola transaksi kerjasama antara pemilik modal dengan pemilik tanah, juga melibatkan kelompok persekutuan kerja informal yang terdiri dari 6 sampai 8 orang yang memiliki pimpinan kelompok masing-masing dengan upah Rp.300,000,-/hari. Kelompok ini diidentifikasi sebagai buruh upahan harian.
Pada praktek usaha yang dijalankan, model-model kerjasama ekonomi yang dibangun juga tidak didasari ikatan perjanjian formal. Praktek kerjasama ekonomi seperti ini kebanyakan menguntungkan secara sepihak bagi pemilik teromol jika berbenturan dengan perselisihan atau konflik.
Pada situasi ini, telah terjadi pertukaran hubungan antara kedua peran yang dapat dinyatakan sebagai kasus khusus dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya. Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang dipertukarkan oleh patron dan klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak[4]
Saat ini perubahan stratifikasi social lain yang dapat dijumpai adalah industrialisasi pertambangan tromol di Poboya juga menjadi medan lapangan pekerjaan baru bagi perempuan dan anak -anak dari pola relasi hubungan industry padat modal tersebut. Kondisi ini ditunjukkan dengan perkiran ± 100 an jumlah wanita dan anak mengambil peran dalam kegiatan pertambangan yang berlangsung saat ini. Keterlibatan peran perempuan dan anak menjadi pekerja tambang sesungguhnya dipegaruhi oleh; pertama, pertambanagn akan memberikan nilai tambah penghasilan ekonomi rumah tangga. Kedua, situasi yang sebaliknya, yaitu dikarenakan memburuknya defisit ekonomi rumah tangga akibat peningkatkan beban hutang dan terjadinya perubahan pola konsumsi rumah tangga. Tampilan pola hidup hedonisme, memicu prilaku ekonomi secara konsumerisme yang ditunjukkan dengan praktek kredit barang-barang elektronik, kendaran bermotor dan lain-lain. Bahkan situasinya akan semakin buruk, karena proses layanan kredit barang tersebut telah membuka agen-agen perantara dan pemasaran di Poboya[5]. Parahnya, kehadiran industrialisasi tambang juga mempengaruhi lonjakan harga kebutuhan pokok pada pasar local dan perubahan pola konsumsi masyarakat dimana menuntut nilai penghasilan yang lebih dalam pemenuhannya sehingga menciptakan pembekakan kebutuhan pembelanjaan yang tidak disadari. Kondisi ini tentunya akan lebih parah lagi jika PT.BR mengambil alih lahan-lahan tersebut dengan skema ganti rugi, dimana nilainya dapat dipastikan tidak akan bertahan lama sesuai dengan lamanya umur perusahaan mengusai lahan masyarakat tersebut.
Bentuk stratifikasi social lain yang dijumpai adalah pergerakan kapitalisme pertambangan juga telah memacu jumlah peningkatan arus migrasi yang masuk ke Poboya diperkirakan 7.000-an orang dengan pendapatan minimalis rata-rata Rp.300, 000,-/hari .Arus migrasi ke Poboya telah mencapai ribuan orang; baik dari local Palu maupun dari luar Palu. Pergerakan arus migrasi tersebut berdasarkan motivasinya dapat dikuatifikasi dalam tiga kelompok, yaitu: Pertama, kelompok migrant yang datang dengan motivasi menjadi pekerja tambang. Kedua, kelompok migrant yang datang dengan motivasi membeli emas hasil produksi penambang. Ketiga, kelompok migrant yang datang dengan motivasi menjual barang-barang dagangan kebutuhan masyrakat seperti; merkuri, air raksa, elektronik, pakaian, prabotan rumah tangga, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, kehadiran industrialisasi pertambangan di Poboya juga menciptakan perubahan fungsi peran lembaga-lembaga sosial local. Fungsi lembaga adat misalnya, yang seharusnya diharapakan bisa menciptakan kohesi social masyarakat secara baik dalam system tata kelola alamnya, pada prakteknya telah mengalami disorientasi fungsi dan peran. Lembaga adat pada perkembangannya telah menjadi agen perantara ekonomi dalam melegitimasi kepentingan kapitalisme pertambangan. Lembaga adat yang direpresentasikan oleh tokoh masyarakat yang tergabung dalam Dewan Adat dan Ketua Adat telah menjadi agen ekonomi dari para pemilik modal kelas dalam menjalankan pungutan-pungutan terhadap aktivitas penambangan. Bahkan memasang pos penjagaan dan plank kewenangan layaknya instruksi dan informasi aturan pemerintah. Tidak hanya itu, kategorisasi model pengutan juga sangat variatif tergantung arah dan tujuan kewenangan seperti kartu masuk lokasi tambang, jenis kartu ini dibagi dua pertama, kartu untuk jalan-jalan diareal penambangan dan kartu sebagai pekerja tambang. Dampaknya semua pungutan itu jatuh di tangan dan kas adat, dengan dalih untuk pembangunan infrastruktur di
kelurahan poboya, uang hasil pungutan itu kemudian dikelola pengurus adat sistem keadatan yang mereka pahami. Namun karena tidak adanya proses audit hasil pungutan, dan kepada siapa pungutan akan diarahkan membuat semua model pungutan itu dalam perjalannya menjadi kabur. Ketua adat karena kewenangan besar yang diberikan padanya telah pula merubah statusnya mengalahkan pemerintah. Dia berinisiatif mutlak atas semua pungutan dan memberikan denda pada setiap aktivitas yang dianggap tidak sesuai keinginan dewan adat. Akibatnya, secara tidak langsung ketua adat menjadi sangat berkuasa dan bisa dianggap telah menjadi raja kecil baru ditanah poboya atas semua kewenangan yang dimilikinya. Bahkan, disalah satu plang tertulis dilarang membawa perempuan nakal dimana kata-kata ini sangat berbau kriminalisasi terhadap perempuan yang notabene dalam pertambangan poboya sangat minim perannya. Kondisi semacam ini melambangkan ada pihak-pihak yang diuntungkan atas kurangnya keterlibatan pemerintah dalam mengatur pengelolaan tambang rakyat. Semisal keluhan beberapa masyarakat yang merasa hanya sebagai pekerja kasar dengan medan kerja yang sangat beresiko tetapi kemudian pendapatannya
tidak sama dengan oleh sebagian masyarakat lainnya. Disamping itu keberadaan orang dari luar telah perlahan-lahan menggeser kendali sebagian masyarakat atas pemanfaatan lahan emas poboya. Kelihatan dari meluasnya lubang-lubang pengambilan material serta pembangunan mesin tromol disepanjang bantaran sungai poboya. Bahkan lahan eks kebun bawang telah dikuasai oleh modal-modal dari luar yang datang membangun tromol dengan pola penyewaan tanah atau yang lazim bagi hasil. Pada konteks Poboya suatu gambaran eksistensi kelembagaan adat telah tergembosi arus tekanan kapitalisme pertambangan sehingga mengalami disorientasi fungsi dan peran socialnya.[6]
Berdasarkan gambaran diatas menunjukkan bahwa; penetrasi kapitalisme yang bergerak dalam wujud moda produksi dan peradaban industrialisasi yang modern melalui tekanan kepentingan industrialisasi pengelolaan tambang emas, telah menjadi ikhwal dari rangkaian proses pembentukan polarisasi atau srtatifikasi sosial masyarakat Poboya, dimana berdampak secara kompleks. Transisi perubahan sosial yang terjadi di Poboya adalah merupakan realitas dari terganggunya keseimbangan di antara unsur-unsur dalam sistem sosial di kalangan masyarakat yang dipengaruhi oleh adanya dorongan dari ekstern, yaitu modal dan moda produksi baru serta pengetahuan teknologi industry. Selain itu, kekuatan produksi telah menciptakan bentuk pembagian defrensiasi kelas-kelas sosil ekonomi masyarakat.
Gambaran dinamika perubahan social masyarakat Poboya saat ini, dapat dilihat sebagai suatu loncatan yang cukup jauh dari gambaran transisi perubahan moda produksinya; dari pertanian sub-sisten bukannya menuju tahapan industrialisasi pertanian modern, akan tetapi beralih pada industrialisasi sector pertambangan tromol secara mekanik semi –modern dimana dalam hubungan industrial posisinya secara dominan sebagai kelas pekerja dalam rantai hubungan industrial -kuasa pemilik modal.
Apa yang kemungkinan akan dihadapi masyarakat Poboya dalam melawan dominasi kuasa modal? bagaimana akhir dari sejarah peradaban sosialnya? Rangkaian gambaran diatas menunjukkan bahwa masyarakat Poboya akan berhadapan dengan kontradiksi dalam hubungan industrial dalam ikatan antara buruh dan pemilik modal, dimana akan menciptakan praktek-praktek penghisapan dalam bentuk deskriminasi upah kerja serta ragam konflik yang berkaitan dengan masalah-masalah hubungan perjanjian kerjasama informal berdasarkan pengakuan atas peran dan tanggungjawab dalam kesepakatan dengan para pemilik modal ataupun kongsi-kongsi bisnis lainnya.
Sesungguhnya kondisi rantai hubungan industrial tersebut, bisa jadi tidak akan bertahan lama, sebab pada konteks pengelolaan tambang emas Poboya dapat dipastikan PT.Bumi Resources juga akan menjalankan kepentingannya. Situasi ini malah akan jauh lebih buruk, karena masyarakat Poboya dapat dipastikan akan terusir dari tanah peradaban sosialnya karena sangat kecil peluangnya untuk menjadi kelas pekerja atau buruh pada industrialisasi tambang yang lebih modern tersebut.
Akhir dari semua itu dalam kesimpulan tulisan ini adalah masyarakat Poboya secara dominan akan menjadi kelas pekerja migrant permanen pada daerah perkotaan sebagai bahagian dari kaum miskin kota dan atau akan menjadi kelas pekerja sirkuler pada wilayah –wilayah dimana dijumpai adanya praktek pertambangan yang sama dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan yang dimilki saat ini. (Supardi Lasaming)
[2] Sumber data walhi sulteng
[3] Andika; kepala divisi riset dan kampanye Jatam Sulteng.
[4] Adi prasetijo; artikel tags antropologi,humaniora,Indonesia opini dalam tjok weblog its my wold sumber ; http://prasetijo.wordpress.com/2008/07/31/hubungan-patron-klien/
[5] Hasil pengamatan penulis di lokasi pertambangan Poboya.
[6] Andika; dalam moratorium Poboya untuk siapa ?