*Azmi Sirajuddin
Melanggar Tata Ruang
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 26 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Palu tidak mendelienasi aktivitas reklamasi d Teluk Palu. Dengan kata lain tidak ada perintah di dalam Perda tersebut untuk melakukan reklamasi atau penimbunan pesisir Teluk Palu. Sehingga aktivitas reklamasi melanggar tata ruang Kota Palu yang telah ditetapkan secara legal oleh pemerintah dan DPRD Kota Palu. Artinya, segala aktivitas yang bertentangan dengan Perda tersebut adalah pelanggaran hukum, khususnya hukum tentang tata ruang. Sebab kedudukan Perda adalah produk hukum daerah.
Menurut penilaian Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah, reklamasi Teluk Palu adalah “maladministrasi”. Karena melanggar sejumlah prosedur ataupun aturan yang ada. Misalnya, SK Walikota Palu dengan Nomor 650/2288/DPRP/2012 pada 10 Desember 2012 tentang penetapan lokasi pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore, lebih duluan hadir dibandingkan dokumen analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL), dan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RKL/RPL), yang baru dikeluarkan oleh Walikota Palu pada tahun 2013 melalui SK Nomor 660/1081/BLH/2013 tertanggal 22 Agustus 2013.
Yang lebih mengcengangkan ialah di dalam SK Walikota tentang lokasi pembangunan sarana wisata di Kelurahan Talise, tidak disebutkan satupun klausul atau perintah tentang reklamasi pantai. Sehingga, terkesan jika pihak pengembang yang mengerjakan proyek tersebut justru melampaui kewenangannya. Anehnya lagi, pihak pemerintah Kota Palu justru tidak melakukan teguran ataupun penghentian aktivitas reklamasi ketika itu. Surat rekomendasi penghentian reklamasi baru dikeluarkan oleh Walikota Palu pada tanggal 27 Mei 2016.
Kuasa Rezim Properti
Ditengarai rezim properti dibalik rentetan reklamasi Teluk Palu yang mulai bergulir sejak tahun 2014, dan secara massif berlangsung sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2016. Kemudian akhirnya terhenti pada pertengahan tahun 2016, karena adanya rekomendasi moratorium dari Gubernur Sulawesi Tengah maupun Walikota Palu. Siapa sesungguhnya rezim properti dimaksud. Mereka adalah segelintir pebisnis di bidang properti yang melirik kawasan pesisir dan pantai di beberapa kota. Kawasan pesisir dan pantai seperti di Kelurahan Lere dan Talise di Kota Palu memang menjadi primadona bagi pebisnis di sektor properti. Target mereka adalah memperoleh akses untuk mengelola kawasan pesisir dan pantai di wilayah kota, dengan selubung pengembangan dan penataan perkotaan. Padahal menyasar pantai sebagai objek reklamasi untuk tujuan bisnis tertentu, seperti proyek kota pantai terintegrasi (water front city integrated area).
Proyek pengembangan dan penataan perkotaan dengan konsep kota pantai atau kota air terintegrasi tidak memberi manfaat bagi rakyat kecil, terutama nelayan tradisional, petambak garam, serta pedagang kaki lima. Sebab yang akan menikmati kemewahan segala fasilitas terpadu di atas pulau palsu tersebut ialah kaum berduit. Di mana segala bentuk kemewahan dan keangkuhan kapitalisme dan neoliberalisme akan dipertontonkan di atas pulau palsu. Sementara rakyat kecil kebanyakan hanya akan tersingkir, termarjinalkan dan menjadi penonton dari luar.
Lantas di mana keberpihak pemerintah terhadap rakyat kecil dalam kasus reklamasi ini. Boleh dikatakan tidak ada keberpihakan jika ditinjau dari segala aspek. Keluarnya kebijakan Walikota yang memberikan kebebasan bagi perusahaan seperti PT Yauri Investama di Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikolore dan PT. Mahakarya Putra Palu di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, untuk melakukan reklamasi, membuktikan jika semasa itu pemerintah Kota Palu tidak memikirkan dampak sosial bagi masyarakat kecil pasca reklamasi. Salah seorang akademisi yang ahli perkotaan di salah satu perguruan tinggi di kota ini menjelaskan ketidaklayakan reklamasi Teluk Palu. Menurutnya, Teluk Palu memiliki keterbatasan daya dukung lingkungan maupun daya tampung manusia.
Kapasitas Teluk Palu khususnya sepanjang Kelurahan Lere hingga Kelurahan Tondo adalah rawan bencana daerah. Bahkan disebutkan di dalam Perda Nomor 26 Tahun 2011 bahwa wilayah ini rawan bencana pesisir, termasuk tsunami. Bahkan pulau palsu hasil reklamasi seluas 38 Ha dengan panjang ke tengah laut mencapai 1.670 meter, kini berpotensi besar menimbulkan sedimentasi terhadap pesisir pantai di sekitarnya.
Muslihat Palsu
Jelas terlihat jika kalangan pebisnis properti yang berada di balik peristiwa reklamasi ini memiliki muslihat tingkat tinggi. Hingga mereka mampu melobi dan meyakinkan pemerintah Kota Palu di masa lampau untuk mengeluarkan semacam perizinan, agar reklamasi diperbolehkan. Meskipun pemerintah Kota Palu ketika itu harus melabrak aturan tata ruang kota. Muslihat tingkat tinggi ini dibarengi dengan iming-iming pengembangan dan penataan perkotaan wilayah pesisir dan pantai. Seperti halnya yang juga terjadi di Kota Makassar, Teluk Jakarta dan Teluk Benoa di Bali.
Kini pulau palsu atau daratan buatan itu telah tercipta, terbangun karena ada proses pembiaran aparat penegak hukum maupun pemerintah daerah. Bahkan, kini beredar isu bahwa ada beberapa orang di tubuh pemerintah Kota Palu saat ini yang berkeinginan mendorong revisi Perda Nomor 26 Tahun 2011. Dengan harapan bahwa aktivitas reklamasi yang sudah terlanjur berlangsung akan diakomodir ke dalam Perda Tata Ruang yang baru. Rakyat berharap keinginan kuat untuk mendorong revisi Perda Nomor 26 Tahun 2011 bukan upaya melakukan pemutihan atau cuci tangan.
Rakyat berkeinginan agar aparat penegak hukum terutama Polda Sulawesi Tengah melakukan proses hukum terhadap kasus reklamasi yang sudah terjadi sebelumnya. Karena secara nyata melanggar tata ruang dan sejumlah peraturan terkait lainnya. Tanpa harus menunggu ada laporan resmi dari pihak yang dirugikan dan korban dari reklamasi, pihak penyidik Polda Sulawesi Tengah punya kewenangan untuk memulai penyelidikan dengan berpedoman pada rekomendasi Ombudsman, keterangan akademisi, rekomendasi moratorium dari Gubernur dan Walikota, dan tentu saja Perda Nomor 26 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Palu. Semoga tidak akan ada lagi muslihat dan kepalsuan.
————————————————
*Penulis adalah Dewan Nasional WALHI Priode 2016-2020
** Tulisan dimuat dikolom opini harian Radar Sulteng halaman 9 edisi 3 Agustus 2016