Masyarakat adat Tau Taa Wana tidak mengenal pendidikan formal. Mereka melihat dunia dengan mampu membaca, menulis, dan berhitung lewat Skola Lipu.
SEKUMPULAN anak tanpa memakai alas kaki, tanpa seragam, ada juga yang bertelanjang dada duduk bersila di sebuah rumah adat Banua Bae di Desa Taronggo, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah.
Kadang-kadang kaki mereka diselonjorkan karena capek duduk bersila. Kadang kaki kesemutan karena harus ditekuk dalam waktu lama. Mereka adalah anak-anak dari komunitas adat Tau Taa Wana, yang sengaja berkumpul di Banua Bae untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Mulut-mulut kecil sibuk mengeja huruf-huruf yang ada tertera di buku. Ada juga kelompok lain yang menuliskan angka-angka.
Terlebih saat musim panen tiba, jumlah anak yang belajar di Banua Bae cukup banyak. Mereka membantu memanen padi sekaligus belajar menulis, membaca, dan berhitung.
Tidak semua anak belajar di Banua Bae, sebuah rumah adat mirip gubuk besar tanpa dinding. Anakanak terkadang memilih belajar di pinggiran sungai (koro) atau di hutan (pangale) yang tidak jauh dari perkampungan mereka. Biasanya anakanak belajar sambil berburu burung atau memungut buah saat berada di koro dan pangale.

Ketika malam tiba, suasana Lipu cukup sepi, terdengar suara anak-anak dari dalam rumah sedang membaca dengan suara cukup lantang. Terkadang kakak atau orangtua mereka ikut membantu cara mengeja huruf atau merangkai kata.
Ahmad, 10, salah satu anak yang belajar membaca dan menulis mengaku belum pernah belajar di sekolah umum. Tidak ada meja atau kursi. Bahkan tidak ada seragam. Anak-anak tidak bersepatu. “Belajar dengan teman-teman di Skola Lipu,” kata Ahmad diamini teman-temannya.
Skola Lipu sebutan bagi komunitas adat Tau Taa Wana untuk tempat belajar. Sekolah itu berada di dalam hutan yang dekat dengan perkampungan mereka. Mereka belajar di Banua Bae yang dibangun di dalam hutan. Di tengah anak-anak belajar membaca, menulis, dan berhitung, sekelompok orang dewasa ikut bergabung dengan anak-anak. Mereka selain mengawasi juga terlibat diskusi untuk memajukan pendidikan untuk komunitas adat ini.
Di sekolah tersebut tidak ada guru profesional layaknya sekolah umum. Mereka hanya punya tau mampatundek (fasilitator belajar) dari anggota komunitas sendiri, yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan dasar di sekolah formal, meski tidak tamat. Berbekal kemampuan literasi dasar yang dimiliki, para fasilitator itu mengawal proses belajar keaksaraan, megandalkan papan tulis ukuran 50 cm x 50 cm yang tampak sudah berubah warna menjadi abu-abu. Jika kapur tulis habis, ubi kayu (singkong) yang dikeringkan dijadikan kapur tulis.
Saat ini peserta didik sudah menggunakan buku tulis, pensil, dan pulpen sebagai alat tulis. Namun, pada awal-awal Skola Lipu diselenggarakan, beberapa peserta belajar hanya menggunakan daun pisang muda sebagai buku tulis dengan lidi sebagai penanya.
Tiga bangunan perpustakaan sederhana yang mereka sebut banua baca atau rumah baca melengkapi proses belajar Skola Lipu. Buku-buku yang ada di banua baca ini sumbangan dari masyarakat. Dari perpustakaan inilah, komunitas Tau Taa Wana bisa mengetahui bagaimana situasi dan perkembangan yang ada di luar.
Tidak rumit
Bagi komunitas Tau Taa Wana, menyekolahkan anak-anak mereka tidak harus dengan persyaratan yang rumit. Mereka tidak bergantung pada gedung sekolah atau sarana belajar yang lengkap untuk bisa belajar membaca, menulis, dan berhitung.
Koordinator Skola Lipu Yayasan Merah Putih, Abdul Ghofur, menjelaskan masyarakat adat Tau Taa Wana secara administratif menempati tiga wilayah. Mulai dari Kabupaten Tojo Unauna, Banggai, dan Morowali Utara. Kondisi alam tempat tinggal komunitas Tau Taa Wana terpencil, dikelilingi lembah dan pegunungan.
Kondisi medan yang jauh dan susah dijangkau membuat fasilitas pembangunan seperti sekolah dan puskesmas tidak ada.
Kondisi wilayah seperti itu menyebabkan masyarakat adat Tau Taa Wana susah berinteraksi dengan masyarakat luar. Bahkan mereka sering dibodohi.
“Dengan kehadirannya, Skola Lipu di tengah-tengah komunitas adat membantu sebagian masyarakat bisa memiliki pengetahuan, tidak gampang dibodohi,” tegas Ghofur.
Memang bagi komunitas adat, masih susah beradaptasi dengan sekolah formal karena pada kurikulum tertentu tidak sesuai dengan keberadaan masyarakat adat.
“Kehadiran Skola Lipu ini menjadikan masyarakat Tau Taa Wana bisa mandiri melalui pendidikan keaksaraan. Hal itu bisa membantu komunitas dalam menggali dan memahami nilai-nilai lokalnya sendiri,” tambah Ghofur.
Dia menjelaskan Skola Lipu sebetulnya sebuah komunitas belajar keaksaraan sesama dan bersama anggota komunitas adat Tau Taa Wana dalam lingkungan Lipu.
Awalnya Skola Lipu dibuka di Desa Taronggo pada 2012 atas permintaan masyarakat adat Tau Taa Wana. Sebab sebelumnya sekolah serupa sudah dibuka di Desa Dataran Bulang, Kecamatan Tojo, Kabupaten Tojo Unauna.
“Berawal dari situ kemudian kami dari Yayasan Merah Putih membuka Skola Lipu di Desa Taronggo. Dahulu murid dan pengajarnya banyak. Sekarang tinggal beberapa saja,” ungkap Ghofur.
Kurangnya murid yang ada saat ini di Skola Lipu bukan karena tidak ada lagi anak-anak Tau Taa Wana yang ingin belajar. Saat ini beberapa anak sudah pindah ke sekolah umum. Bahkan beberapa anak di antaranya diberikan kemudahan untuk melompat kelas karena kemampuannya membaca, menulis, dan berhitung cukup memuaskan. (N-3)
Sumber : Media Indonesia Edisi Cetak 13 April 2016 & e-papaper