(Majene,13/4/2016),Belum lama ini, YMP berkunjung ke Provinsi Sulawesi Barat, untuk silaturrahmi dan konsolidasi advokasi lingkungan lintas batas. YMP ingin mendorong sinergitas advokasi perlindungan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah-wilayah perbatasan di region Sulawesi. Untuk perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan, isu perekat utamanya ialah DAS Lariang. Karena DAS Lariang menghubungkan ketiga wilayah provinsi ini secara ekosistem. Yang mana saat ini DAS Lariang sedang terancam oleh maraknya aktivitas pembalakan liar, perluasan perkebunan sawit, pertambangan, serta rencana pembangunan PLTA.
Sebagai gambaran, wilayah perbatasan di ketiga wilayah provinsi saling bersinggungan dan beririsan kepentingan satu sama lainnya. Di Sulawesi Barat, terdapat Kecataman Tikke Raya, Kabupaten Mamuju Utara, yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Rio Pakava dan Kecamatan Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Adapun wilayah di Sulawesi Selatan yang bersinggungan dengan Sulawesi Tengah adalah Kecamatan Masamba, Kecamatan Seko dan Kecamatan Rampi, yang berbatasan dengan Kabupaten Poso. Kebetulan sekali, bahwa DAS Lariang menghubungkan ekosistem di tiga wilayah provinsi bersangkutan.
DAS Lariang sendiri salah satu DAS utama yang membentuk wilayah sungai (WS) Palu – Lariang, dengan total luas aliran WS Palu – Lariang mencapai 14.550 Km persegi. Di mana DAS Lariang berkontribusi seluas 7.069 Km persegi, atau 49% dari total WS Palu – Lariang. Bagian hulu DAS Lariang terletak di dua provinsi, yaitu bagian selatan DAS Lariang berada di Kecamatan Masamba, Provinsi Sulawesi Selatan, sedang bagian utara dan tengah berada di Kecamatan Lore Utara dan Lore Tengah, Provinsi Sulawesi Tengah. Bagian tengah DAS Lariang terletak di Kecamatan Kulawi dan Kecamatan Pipikoro, Sulawesi Tengah, sedangkan bagian hilir berada di Kecamatan Rio Pakava, Sulawesi Tengah dan Kecamatan Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat (sumber: https://indonesiana.tempo.co.id).
Eksistensi DAS Lariang bagi ketiga wilayah provinsi ini tak dapat dipungkiri, bahkan peran dan fungsi DAS Lariang sebagai satu kawasan ekosistem terpadu, kawasan penyimpanan dan resapan air, serta pendukung keragaman hayati yang bernilai tinggi. Oleh sebab itu, advokasi untuk perlindungan DAS Lariang dapat menjadi isu perekat organisasi masyarakat sipil di ketiga wilayah, terutama organisasi yang tergabung sebagai anggota WALHI. Karena itu, dalam kunjungan dan konsolidasi yang dilakukan oleh YMP di Sulawesi Barat, target konsolidasi adalah anggota WALHI di wilayah itu. Hal serupa juga akan dilakukan di wilayah Sulawesi Selatan. Sembari mengidentifikasi isu bersama terkait perlindungan lingkungan di wilayah perbatasan, juga diidentifikasi aktor dan kepentingan masing-masing aktor di wilayah perbatasan.
Dari hasil eksplorasi bersama dengan Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Barat dan anggotanya, ditemukan beberapa isu penting dalam kaitan advokasi kolaboratif tersebut. Isu-isu yang telah teridentifikasi antara lain keberadaan DAS Lariang sebagai cantolan ekosistem terpadu di ketiga wilayah provinsi. Selanjutnya, ada isu tentang perlindungan ketahanan pangan lokal dari tata produksi dan tata konsumsi yang bersifat kapitalistik. Selain itu, ada juga isu tentang perlindungan hutan tropis berbasis hak, di mana di wilayah-wilayah perbatasan itu hidup dan menetap kelompok-kelompok masyarakat yang masih memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan hutan, termasuk perlindungan kelompok masyarakat adat. Berikutnya, advokasi lingkungan di wilayah perbatasan juga terkait erat dengan gerakan pembangunan dan perluasan pemulihan ekologi genting. Sebab, tak dapat dipungkiri, jika wilayah-wilayah perbatasan merupakan wilayah yang paling rentan dengan eksploitasi sumber daya alam tanpa kontrol dan kendali.
Berangkat dari konsolidasi tersebut, YMP dan Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Barat bersama anggotanya, berkomitmen untuk membangun kerja-kerja kolaboratif advokasi lingkungan di wilayah perbatasan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Hal yang sama nantinya akan dilakukan bersama dengan Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Selatan beserta anggotanya. Perkembangan terkini menunjukkan jika perkembangan investasi berbasis lahan semakin massif di wilayah perbatasan Sulawesi Tengah dengan Sulawesi Barat. Di wilayah Mamuju Utara misalnya, terdapat sejumlah perusahaan sawit, yaitu PT. Astra Agro Lestari (AAL) dengan anak perusahaannya seperti PT. Pasangkayu, PT. Mamuang, PT. Lettawa dan PT. Lestari Tani Teladan, dengan luasan HGU dari seluruh perusahaan AAL itu mencapai 37 ribu hektar lebih. Kedua, PT. Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL) dengan HGU 30 ribu hektar lebih.
Luas HGU yang dimiliki perusahaan perkebunan besar sawit tersebut memang cukup mencengangkan karena menurut sumber pada Dinas Kehutanan Mamuju Utara, dari total luas Kabupaten Mamuju Utara 304. 375 Ha, sebanyak 37% telah dibebaskan untuk HGU, tanah milik masyarakat dan tanah milik pemerintah, dari 37% tersebut, 90% adalah HGU yang dikelolah oleh perkebunan besar sawit. Jadi perbandingan tingkat kemungkinan perusakan alam antara pemilik HGU dengan masyarakat, 90% berbanding 10% (sumber: https://indonesiana.tempo.co.id).
Dengan adanya fakta-fakta itu, maka YMP memandang pentingnya kini membangun kerja-kerja kolaboratif dengan WALHI Sulawesi Barat di wilayah perbatasan. Mengingat bahwa ekspansi perkebunan sawit di Mamuju Utara tidak hanya berdampak kepada kondisi lingkungan dan sosial di Sulawesi Barat, tapi juga berpengaruh negatif bagi kondisi lingkungan dan sosial di Sulawesi Tengah, terutama Kabupaten Donggala yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Mamuju Utara. *(Azmi)