Mediasi dimaknai sebagai mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa, untuk menemukan solusi terbaik yang disepakati oleh kedua belah pihak. Keputusan yang diambil pun mesti merupakan kesepakatan kedua belah pihak. Adapun pihak yang menjadi mediator adalah orang yang disepakati pula oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jika mediator berat sebelah, maka salah satu pihak yang merasa keberatan dapat mengajukan pergantian mediator yang lebih independen.
Terkait dengan upaya untuk mengurangi konflik-konflik tenurial kehutanan yang berkepanjangan, Direktorat Penanganan Konflik Tenurial Kementrian Lingkungan Hidup Kehutanan bekerjasama dengan Indonesia Mediator Network (IMN), mendorong mediasi sebagai salah satu upaya penyelesaian konflik tenurial. Karena itu, KLHK maupun IMN menggelar Diklat Mediator Konflik Tenurial, tanggal 17 – 21 November 2015 di Bogor.
Mediasi terkait konflik tenurial kehutanan memang perlu digalakkan. Tentunya bukan untuk menghilangkan rasa keadilan, namun sebaliknya untuk membantu masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan memperoleh keadilan. Karena itu pula, ruang lingkup mediasi hanya yang terkait dengan perkara perdata. Misalnya, kerugian materil seperti rusaknya lahan pertanian, tanaman, pemukiman dan fasilitas umum, serta kondisi kesehatan.
Adapun yang menyangkut konflik yang berkaitan dengan pidana seperti perampasan lahan, penggusuran, pencemaran limbah beracun, pembalakan liar dan pembakaran lahan, tidak cocok untuk diselesaikan secara mediasi. Perbuatan pidana yang timbul dari konflik tenurial kehutanan mesti dibawa ke jalur peradilan.
Peran mediator sudah diatur di dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa, maupun melalui Peraturan Mahkamah Agung N0.1 Tahun 2008 tentang Mediasi. Ke depan, diharapkan setiap alumni diklat mediator yang sudah resmi bersertifikasi mediator dapat mendaftarkan dirinya di pengadilan negeri setempat. Sehingga dapat terdaftar di pengadilan negeri tersebut dan berperan sebagai mediator.
Menurut Ibu Vivien dari KLHK, mediasi tidak akan menghilangkan hak-hak korban, namun justru akan membantu korban menemukan keadilan dengan cara yang lebih sederhana dan tidak bertele-tele. Dia berharap kiranya konflik tenurial ke depan dapat lebih mudah diselesaikan dengan pilihan mediasi.(Azmi)